Chapter 16 - Singa Ompong

27 10 0
                                    

Hujan menyapa di tengah perjalanan. Reihan menepikan motornya ke warung tenda yang pernah beberapa kali ia singgahi. Warung sederhana yang hanya diberi kain memanjang sebagai pembatasnya. "Kita ngeburjo dulu, ya?"

Jessi heran karena ini pertama kalinya ia makan di pinggiran seperti ini. Ia bukannya sok higienis. Namun, memang dia dan teman-temannya dahulu tidak biasa nongkrong di pinggir jalan seperti ini. Tidak pernah terpikirkan untuk mencoba karena tidak ada yang mengajak.

"Tenang aja. Di sini bersih, kok, tempatnya." Reihan mencoba meyakinkan karena raut wajah Jessi seperti heran melihat warung tenda itu.

"Kalau gue bilang baru pertama kali makan kaya gini, lo bakal ngetawain gak?"

Reihan sedikit kaget. Ia bisa menebak jika Jessi tergolong keluarga berada jika dilihat dari kondisi rumah dan beberapa kendaraan yang terparkir di garasi rumahnya. Namun, menurutnya hal yang mengejutkan sekaligus kerugian yang teramat besar jika baru pertama kali makan burjo di warung tenda di umur dua puluhan ini.

"Kenapa harus ngetawain segala? Ayo, buruan pesan. Ada bubur kacang ijo, bubur ketan hitam atau dicampur juga boleh. Nanti rotinya dicelup gitu ke kuahnya. Mantap!" Reihan menjelaskan sambil memberikan jempol di hadapan Jessi.

Reihan memesan semangkuk bubur campur dan Jessi memesan bubur ketan hitam. Mata Jessi berbinar saat menyuap sesendok bubur ketan hitam ke mulutnya. "Gue baru tahu ada makanan enak yang kaya gini."

"Nambah lagi aja kalau suka."

"Gak usah, nanti jadi gendut."

"Emang kenapa kalau gendut?"

"Pokoknya gitu, deh."

Hasil doktrin Deo ternyata masih tersisa di alam bawah sadarnya. Deo selalu membatasi apapun yang Jessi mau, termasuk dalam hal makanan. Nanti lo gendut. Nanti lo jelek. Cewek gak bagus kalau banyak makan. Kadang suara-suara itu masih sayup-sayup terdengar.

"Gak apa-apa, kok, kalau mau makan apa aja yang bikin lo senang. Asal jangan berlebihan aja. Know your limit!"

Jessi merasa perkataan Reihan selalu berhasil menyiram hatinya yang sedang dibakar belenggu masa lalu. Ia seolah tahu apa yang ada di pikiran Jessi. Tebakannya jitu. Apakah Reihan punya kekuatan membaca pikiran orang lain?

Keduanya sudah selesai makan. Hujan pun sudah reda. Reihan teringat sesuatu, ia memesan lagi bubur ketan untuk dibawa pulang. "Bang, bubur ketannya tambah tiga, ya! Dibungkus aja. Makasih, Bang."

"Banyak banget. Buat siapa?" tanya Jessica heran.

"Buat yang mau mau aja."

Reihan melajukan kembali motornya menuju ke rumah Jessi. Belum ada mobil yang terparkir. Berarti Om Bram belum pulang dari kantor. Situasi yang aman, jadi Reihan bisa langsung pulang.

Reihan memberikan bubur ketan yang tadi dibungkusnya kepada Jessica. "Ini buat lo, Jess."

"Nyuruh gue diare, ya?"

"Simpan di kulkas aja. Nanti makan lagi pas lagi kepengen."

Senyum Jessi merekah lagi. Tidak apa-apa bagi Jessi jika nanti ada garis senyum di pipinya karena senyum terus menerus saat bersama Reihan. Skincare pasti bisa mengatasinya. Harga skincare tidak seberapa dibanding kebahagiaan yang kini mengisi hatinya.

"Gue balik, ya. Mau main futsal dulu."

"Iya, hati-hati di jalan, ya. Makasih karena udah nganter ke rumah, udah traktir dan bungkusin juga."

"Sama-sama."

Jessi masih bertahan di pagar dan melihat punggung Reihan dari kejauhan. Lalu ia heran saat motor Reihan memutar balik dan kembali menuju ke hadapannya.

"Kenapa balik lagi? Ada yang lupa atau ketinggalan?"

"Cuma mau bilang, nanti kalau chat gak dibalas berarti gue belum selesai main futsal. Gak usah nunggu. Lo tidur aja, ya. Jangan begadang!"

Reihan langsung melajukan lagi motornya. Ia kembali hanya untuk menyampaikan hal itu. Hati Jessi menghangat mendengarnya. Bagaikan oase di tengah padang pasir. Jiwa Jessi yang haus akan kasih sayang sedikit terobati dengan kehadiran Reihan.

Semoga ini bukan fatamorgana. Semoga ini senantiasa selamanya. Itulah barisan doa yang Jessi pinta.

Tepat di persimpangan jalan, ada dua orang penumpang di dalam mobil yang melihat pergerakan Jessi dan Reihan dari tadi. Lagu rohani mengiringi perjalanan Mami dan Papi Jessi di dalam mobil. Di tengah lagu yang mengalun, ada lamunan yang masing-masing terbentang. Tampak menebak-nebak hubungan apa yang sedang terjadi diantara keduanya. Bertanya-tanya sudah sejauh mana kedekatan mereka berlangsung.

"Kayaknya dia itu anak baik. Jessi jadi ceria lagi semenjak kenal sama dia." Papi Jessi membuka suara terlebih dahulu.

Ada helaan nafas panjang yang terdengar. Mata yang terus mengamati Reihan. Juga raut muka yang tidak bisa dijabarkan. Apakah ikut senang atau malah sebaliknya.

"Papi setuju kalau mereka pacaran?"

Tidak ada jawaban lagi terdengar. Bahkan lagu rohani yang terdengar pun sudah habis diputar. Hanya memberi suasana hening yang seolah enggan memberikan jawaban.

***

"Han, lo sibuk banget kayanya. Lagi banyak tugas, ya? Lo jadi jarang online kalau gue liat. Biasanya lo suka banget forward video gak jelas ke grup." Gea menggerutu sambil memakan mie.

"Ge, lo jangan ganggu orang lagi kasmaran, dong. Jangankan sama temen, jadwal kuliah siang aja dia jadi mendadak lupa gara-gara jatuh cinta." Jayden senang sekali membeberkan info ini kepada Gea.

Mata Gea melotot karena kaget. Hampir saja dia tersedak dan mengeluarkan mie yang sedang dikunyahnya. "Kayanya gue banyak ketinggalan info, nih. Tugas gue beranak terus."

Mereka bertiga sedang berada di kantin fakultas FEB. Baru bertemu setelah beberapa hari tenggelam dengan kesibukan masing-masing.

"Udah gue bilang, lo jangan suka numpuk tugas. Kalau ditumpuk, mereka akan saling jatuh cinta dan melahirkan tugas-tugas baru. Itu sebabnya tugas lo gak abis-abis." Reihan berbicara, tetapi matanya tertuju pada ponsel yang ia pegang.

"Halah, gampang kalau gitu, Han. Gue suruh aja tugasnya buat pasang KB, biar gak beranak terus."

"Boleh juga ide lo, Ge. Nanti gue cariin di Twitter. WTB KB buat tugas." Jayden cekikikan dengan ide yang Gea katakan.

"Mau yang pil atau yang disuntik, Kak?" Gea menjawab dengan suara imut yang sengaja ia buat-buat.

"Sinting!" Jayden menaruh telunjuknya dengan gaya lurus di depan jidat.

"Kalian bisa gak, sih, sehari aja jadi manusia normal." Reihan menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan ajaib kedua temannya itu.

"Astaga. Siapa yang tadi duluan bilang kalau tugas bisa beranak? Gue sih cuma nerusin aja. Iya, kan, Jay?"

Jayden mengangguk setuju. "Sekarang singa gunung kita udah jinak, Ge."

"Bukan singa gunung lagi namanya, Jay. Singa ompong."

Jayden tertawa terbahak-bahak mendengar celoteh Gea. Sementara Reihan hanya bisa tersenyum kecut dengan sindiran Gea padanya.

"Kalau lo udah jadian, jangan lupain kita, Han." Jayden berkata kepada Reihan.

"Benar. Friendship is number one. Ayo, dong, kenalin sama kita."

"Nanti, deh. Tapi janji dulu, gak usah ada ospek-ospek segala. Jessica, tuh, dia tertutup gitu orangnya."

Reihan masih ragu untuk mengenalkan Jessica kepada teman-temannya. Ia takut jika Jessica merasa tidak nyaman mengingat bercandaan temannya yang terkadang tidak bisa ditebak. Nanti jika waktunya sudah tepat Reihan pasti akan mengajak Jessi bertemu teman-temannya. Tetap tenang, step by step, karena Reihan tahu bukan sesuatu yang mudah untuk Jessi mulai membuka diri untuk berteman dengan banyak orang lagi.

Au Revoir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang