Reihan sedang berdiri di depan cermin yang ada di kamarnya. Mematut dirinya sedari pagi karena ia ingin hari terakhirnya dengan Jessi jadi salah satu kenangan terindah. Ah, satu tahun bersama Jessi memang menjadi bagian terindah dalam hidupnya saat ini. Namun, begitulah roda kehidupan berputar. Saat ada kebahagiaan, saat lainnya pasti kesedihan akan singgah.
Hari ini Reihan akan menapaki jejak-jejak kisah cintanya bersama Jessi. Dimulai dari makan ke Cloudy Cafè, menonton film horror yang sedang tayang di bioskop, berkunjung ke toko buku, pergi ke warung burjo, sampai akhirnya mengantarnya pulang dengan selamat sampai rumah.
Rere mengetuk pintu kamar Reihan walau pintu itu terbuka lebar. "Aku boleh masuk gak?"
"Masuk aja, Dek. Kenapa?"
"Aa yakin dengan semua ini? Aa jahat banget tau." Rere tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia juga perempuan, ia tahu pasti rasa sesaknya saat ditinggal orang yang disayangi karena ia pernah mengalaminya saat awal SMA. Bedanya, sedalam apapun rindu yang ia coba luapkan, tak akan pernah sampai karena sosok yang ia sayangi sudah berada di alam yang berbeda.
"Sekali ini Aa jahat, Dek."
"Aa tahu kan waktu dulu aku pernah ditinggal pergi sama Lintang? Aku nangisnya sampai sebulan, Aa masih ingat, kan?"
"Itu beda ceritanya, Dek."
"Apanya yang beda? Kalian sama-sama gak pamitan pas mau pergi."
Reihan menarik napas panjang, lalu mengusap puncak kepala Rere dengan lembut. "Dek, seperti kamu yang mulai terbiasa hidup tanpa Lintang, Kak Jessi juga pasti bisa hidup tanpa Aa. Ini hanya soal waktu, hanya perlu menunggu sampai terbiasa."
Keputusan Reihan sudah bulat, tak goyah lagi walau orang-orang terdekat meragukannya. Ia harus memilih pergi untuk mengakhiri hubungannya dengan Jessi.
Rere langsung berlalu, meninggalkan Reihan yang kini sedang duduk tergugu di atas tempat tidurnya.
***
"Pakai motor aja, ya, biar gampang nyelip." Reihan melepas helmnya saat sudah berada di teras rumah Jessi.
"Iya, mau ke mana, nih, kita hari ini?"
"Ke mana-mana. Today is your day. Pusing gak, sih, abis ngerjain skripsi dan revisian?"
"Pusing banget tapi yang paling parah aku kangen banget sama kamu, ih." Jessi mencubit gemas pipi Reihan.
"Cepat naik makanya." Reihan menepuk jok bagian belakang motor agar Jessi segera berada di sana. Jessi langsung menurutinya dan memeluknya dari arah belakang.
Nikmati hari ini, Jess. Bisa jadi ini adalah memori terakhir yang bisa kita kenang, gumam Reihan di dalam hati.
Motor Reihan langsung melaju membelah jalanan. Ia bawa motornya dengan kecepatan sedang, bahkan di beberapa titik ia lakukan dengan pelan. Seolah ia ingin setiap detiknya adalah berharga, setiap jalan yang dilaluinya akan menjadi jejak cerita antara ia dan Jessica.
"Ke Cloudy Cafè dulu, yuk!" Reihan sedikit berteriak kepada Jessi yang tengah merekam dengan ponselnya.
"Siap, Kapten!"
Reihan langsung gas motornya saat itu juga, membuat Jessi mempererat pelukannya. Pelukan hangat dan erat yang esok akan menjelma menjadi pintalan memori.
Mereka akhirnya sampai di Cloudy Cafè, yang menurut Reihan adalah tempat bersejarah untuk mereka berdua. Kafe ini adalah tempat pertama mereka bertemu secara resmi, saksi bisu bagaimana mulanya Reihan bisa menaruh hati pada gadis yang saat itu sedang dilanda duka lara.
"Jess, ada gak sesuatu yang pengen banget kamu lakuin?" tanya Reihan saat mereka berdua sudah selesai memesan makanan dan minuman.
"Apa, ya?" Jessi tempak berpikir, kira-kira apa yang ingin ia wujudkan dalam hidupnya. "Aku pengen selamanya sama kamu, Rei. Bolehkah?" Jessi menggenggam erat jemari Reihan.
Reihan tercekat mendengar perkataan Jessi. Lidahnya kelu, tak tahu harus menjawab apa. Jadi, ia hanya tersenyum dan mencubit hidung Jessi. "Kok, hidung kamu bisa mancung banget, sih? Kaya perosotan anak TK."
Selalu begitu, berusaha mengalihkan pembicaraan. Tidak pernah ada jawaban yang serius tentang masa depan, gumam Jessi.
***
Setelah dari Cloudy Cafè, Reihan dan Jessi pergi ke bioskop untuk menonton film horror. Reihan juga sudah memesan dua popcorn dan dua cola untuk camilan saat menonton nanti.
Mereka sudah masuk ke studio dan film akan segera diputar. Jessi tak melepaskan jemari Reihan dari tangannya. "Kamu tahu gak, kenapa ada ruang kosong di sela jemari kita?"
"Kalo nyatu jadinya malah serem, dong. Kaya kaki bebek." Reihan tertawa sambil menutupinya dengan satu tangannya yang bebas. Tawa renyah yang akan Jessi rindukan di kemudian hari.
"Soalnya nanti, akan ada seseorang yang spesial buat ngisi sela-sela di jemari kita." Jessi menatap serius ke arah Reihan. "Dan aku harap, orang itu adalah kamu, Rei."
Semua lampu di studio sudah dimatikan, menyisakan gelap dan terang dari layar besar yang ada di depan. Sekarang layar di studio bioskop sudah mulai menayangkan film. "Eh, itu filmnya udah mau mulai."
***
"Mau ke Gramed dulu gak?" tanya Reihan saat mereka sudah selesai menonton film.
"Gak dulu, deh. Aku lagi mual liat buku. Novel yang aku beli juga masih banyak yang belum aku baca."
"Kita langsung ke warung burjo aja, ya?"
"Siap."
Mereka sudah sampai di warung burjo langganan Reihan. Penjualnya bahkan sudah tahu menu apa yang mereka biasa pesan. Ia menjadi salah satu saksi rajutan kisah yang dilalui oleh Reihan dan Jessi.
"Jess, kalau suatu hari aku gak ada di sisi kamu lagi, kamu harus baik-baik aja, ya."
"Ih, emangnya kamu mau kemana?"
"Aku bilang kan kalau, kalau nanti, misalkan aja."
"Kamu kalau mau pergi, kamu harus bilang, jangan main tinggalin aja. Itu jahat, tahu!"
Gak apa-apa aku jadi jahat, biar kamu cepat lupain aku, biar kamu lebih mudah membenci aku, Jess. Hidup kamu harus terus berjalan walau gak ada aku lagi yang temani, batin Reihan.
Ponsel Jessi berdering, ada telepon masuk yang langsung ia tolak. Reihan penasaran dengan siapa yang menelepon, tetapi ia tidak berani bertanya.
"Daniel, tuh, nyebelin banget, deh."
"Kenapa emangnya?"
"Aku gak suka aja sama sikapnya, kaya maksa gitu. Pokoknya nyebelin, deh."
Jess, orang yang kamu bilang nyebelin itu, nanti akan menjadi orang yang menghibur kamu saat aku pergi. Dia adalah pilihan Mami dan Papi kamu. Dia seiman dengan kamu. Tidak ada tembok pemisah di antara kalian. Semua jalan telah beraspal secara mulus. Jadi, kamu hanya harus berjalan di jalan itu dengan bahagia.
Reihan duduk lebih mendekat dan memeluk pinggang Jessi. "Jess, kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu."
"Halah, basi, ah. Aku udah tahu lanjutannya kalau udah bilang kaya gini. Iya, aku udah tahu dan seperti yang selalu kamu bilang kalau itu udah cukup, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Au Revoir [END]
Fiksi RemajaAu Revoir Blurb Reihan pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi, dalam waktu yang lama ia enggan untuk membuka hati. Jessica tidak pernah tahu bahwa ada bentuk lain dari cinta, karena selama ini ia hidup dalam belenggu yang memenjara jiwanya. ...