🥀33 Akhir Kisah Bahagia

52 4 0
                                    

"Kisah bahagia itu telah berakhir, semoga bahagiaku bukan hanya tentangmu."

-Anastasia Arvhina

🍂🍂🍂

Happy Reading!

Sia melihat sekeliling kamar kosnya. Sebentar lagi, ia akan pergi meninggalkan tempat ini, pergi ke tempat jauh yang ia sendiri tidak tahu dimana tempat itu berada.

Sia menghembuskan nafas panjang, lantas mengambil sebuah foto yang ia taruh di atas nakas dengan figura putih sebagai bingkainya. Setidaknya ia boleh menyimpannya kan? Selembar foto saat dirinya dan Zain berada di perpustakaan dahulu saat SMP.

Sia menaruh foto itu di ransel yang akan ia bawa pergi. Ayahnya sudah menunggu di mobil yang terparkir di depan kosnya. Pria itu akan mengantarnya ke tempat bertanding basket sebelum Sia pindah ke tempat yang dijanjikan olehnya.

Gadis itu terlihat menghapus air mata yang turun melewati pipinya. Sudahlah, ia akan meninggalkan kota ini dengan semua kenangan yang ada. Menghapusnya atau mengingatnya sebagai kenangan nantinya. Jahat mungkin kalau ia pergi begitu saja tanpa memberi kabar kepada siapapun. Namun mungkin itu lebih baik, untuk apa mengukir kenangan indah sebelum pergi yang nantinya akan menjadi alasan untuk Sia menangis?

"Sudah semua?" Tanya pria berbalut kemeja dan bawahan berwana hitam yang duduk di bangku pengendara.

Dari pantulan kaca mobil, Sia terlihat mengangguk, membuat mobil hitam tua itu melaju meninggalkan pelataran kos.

Ponsel Sia sedari pagi dimatikan, gadis itu tidak ingin membukanya barang sekali. Sia tahu tempat bertandingnya, jadi ia tidak perlu menghubungi anggota lain untuk bertanya. Sia pun tidak terlalu dekat dengan mereka.

Sambil menatap keluar jendela, Sia jadi ingat kenangan-kenangan yang ia lukis bersama Zain di kota ini. Lihatlah, mobil ini melewati cafe yang pernah ia datangi bersama Zain untuk merayakan ulang tahunnya. Tanggal ulang tahun yang orang tuanya dan dirinya lupakan itu ternyata Zain ingat dengan jelas, padahal Sia hanya mengatakannya sekali.

Tak berselang lama, mobil melewati toko buku kuno yang bangunannya dibangun dengan kayu-kayu yang kokoh. Sampai saat ini toko itu masih ada, Sia ingat betul Zain mengajak dirinya ke toko itu untuk membeli buku latihan soal matematika. Sia yang membenci matematika itu menolak, melakukan segala cara agar Zain tidak membelikannya buku itu. Karena kata laki-laki itu, kalau tiap latihan soal bisa Sia kerjakan maka Sia boleh meminta Zain membelikan apapun yang ia inginkan.

"Hahaha, lucu." Sia tertawa pelan, kalau diingat-ingat masa remaja mereka yang masih polos itu sangat lucu.

Sia menurut saja lagi saat Zain berjanji seperti itu, dan mengerjakan buku latihan soal itu dengan sungguh-sungguh, membuat nilai matematika Sia yang biasanya mendapatkan nilai nol, berubah menjadi sembilan puluh.

Anehnya, buku itu masih Sia simpan sampai sekarang, bahkan hari ini ia bawa di dalam ranselnya.

Tapi hari ini, Sia akan pergi meninggalkan semua kesenangannya dengan Zain, kisah bahagia yang membuat hidupnya lebih berwarna itu kini akan segera ia akhiri.

"Sia harus semangat ya, ini pertandingan terakhir kamu sebelum Ayah kamu bawa kamu pergi." Ujar supir Ayah Sia yang membuat kegiatan melamun Sia buyar.

"Pasti, aku selalu berusaha yang terbaik buat tim, Pak." Jawab Sia penuh keyakinan.

Karena membicarakan pertandingan, Sia jadi ingat dengan seseorang yang ia temui di toko mainan. Gadis dengan seragam SMA Elang Sakti dan poni agak panjang yang menutupi wajahnya itu membeli sebuah gantungan kunci berbentuk bola basket berukuran kecil. Sia awalnya biasa saja, akan tetapi apa yang gadis itu lakukan setelahnya membuat Sia bergidik ngeri, rupa-rupanya gadis itu menaruh sebuah kamera kecil di dalamnya. Kalau orang biasa yang tidak teliti pasti tidak akan mengira gantungan kunci akan diberi kamera pengawas seperti itu. Semoga saja, tidak ada orang yang dirugikan karena perbuatan itu, dan semoga ia membeli untuk dirinya sendiri saja, bukan untuk diberikan kepada orang lain dan mengawasi orang itu dari jarak jauh.

🍂🍂🍂

Klakson yang berasal dari mobil Alora terdengar di pelataran rumah Rishya. Rishya segera menuruni tangga untuk menemui cewek yang telah menunggunya lama itu. Bersama dengan Hasya, Rishya diajak Alora untuk menonton pertandingan basket yang katanya tim SMA mereka juga ikut.

Rishya tidak tertarik pada basket sama sekali, tapi Rishya tidak mempunyai kegiatan apapun hari ini jadi ia ikut saja, hitung-hitung untuk mendapat uang jajan dari Papih.

"PAPIH! Rishya mau nonton pertandingan basket sekolah." Seru Rishya menghampiri Papihnya yang tengah membaca koran online dan Mamih Citra yang sedang memotong-motong buah untuk dijadikan salad.

"Pasti mau minta uang buat jajan kan?" Tebak Mamih Citra sambil memasukkan sepotong buah melon ke dalam mulutnya.

Rishya senyum-senyum. "Iya Mamih, masa Rishya nggak dikasih uang jajan sih."

Papih meletakkan ponselnya ke atas meja, mengeluarkan dompet yang ia taruh di saku celananya. Papih mengambil beberapa uang bernilai seratus ribu lalu menariknya satu persatu untuk menghitungnya.

Rishya langsung melotot kaget, ia akan diberi uang jajan seratus ribu nih oleh Papih? Kedua tangan Rishya sudah siap-siap mengadah untuk menerima uang dari Papih.

Papih menarik uang bernilai lima puluh ribu dan memberikannya tepat di atas tangan Rishya. "Kebanyakan seratus ribu mah. Kan sama di Aloya pulang perginya, jadi lima puluh ribu aja ya."

Rishya memudarkan senyumnya seketika, Papih ini membuat orang jadi berharap saja.

"Jangan ngarep sama Papih mah, Shya." Celetuk Mamih Citra, mengunyah lagi sepotong buah apel untuk dimakan. "Dan juga, nama temennya Rishya itu Alora, Pih. Aloya mah nama apa itu." Pekik Mamih kesal.

"Rishya berangkat aja deh. Capek lama-lama." Ucap Rishya lelah.

Rishya menyalami Mamih dan Papih, lalu berpamitan. "Rishya pergi nih, Assalamualaikum."

Rishya berjalan menuju rak sepatu yang ditaruh di dekat bagasi, lalu tangannya mengambil sepasang sepatu berwarna putih dan mengikat talinya dengan cepat.

"Rishya, Shya, yuk buruan!" Teriak Alora dari dalam mobil, kepalanya menyembul dari kaca mobil merahnya itu.

"Sabar, ini gue lagi pake sepatu!"

Rishya buru-buru berlari, mendorong pintu gerbang agar terbuka lebih lebar dan membuka pintu mobil belakang Alora.

Rishya duduk di sebelah Alora tanpa memperhatikan sang pengendara mobil. Lah, kan ini mobil Alora, kenapa cewek itu malah duduk di belakang?

"Hah, kok bukan lo yang bawa mobilnya sih?" Tanya Rishya heran.

Hasya menyahuti dengan tenang. "Yang bawa mobil si Zain, soalnya tangan Alora habis kena minyak."

Rishya tambah heran mendengar alasan itu. Bukannya canggung sekali jika yang menyetir adalah Zain?

"Eh, tapi lo gapapa tangannya, Al?" Rishya menarik tangan Alora untuk mengecek keadaannya.

Tangan kanan Alora dibalut dengan perban berwarna putih, sepertinya lukanya cukup parah.

"Gak papa kok, cuma perih dikit." Balas Alora dengan seulas senyum.

"Makanya, gak biasa masak sok mau masak. Kena minyak kan jadinya, sakit kan, bebal sih." Timpal Iqbal, terdengar mengejek sekaligus khawatir.

"Apa sih! Lo tuh gak bisa ya sedikit kasihan ke gue? Dikit-dikit nyinyir mulu, ih." Sambar Alora yang seperti biasa, tidak terima.

Zain geleng-geleng kepala, mulai menyalakan mesin mobil dan mobil bergerak perlahan-lahan.

"Ya karena lo yang keras kepala. Emang masak apaan lo sampe kena minyak?"

"Lo kepo banget sumpah."

"Ya kan gue peduli. Emak gue biasa masak, gak pernah dah kena minyak kayak lo gitu."

Alora mendengus kasar. "Ya karena gue bukan emak lo! Udah sih, namanya juga musibah."

Ketiga orang yang lain langsung berubah menjadi penonton, seperti biasa drama antara Iqbal dan Alora tidak pernah habis. Yang habis sih, dua orang yang saling menatap lewat pantulan kaca mobil itu.

-Minggu 30 Juni 2024

Selamat bermalam Senin!! Jangan lupa vote☆ nya ya hehe, terima kasih :)

ZainrishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang