🥀21 Second Choice

49 10 0
                                    

"Sikapmu kepadaku sangat ambigu. Membuat aku tidak bisa untuk tidak ragu."

Arishya Ellena Valerie

🍂🍂🍂

Happy Reading!

Rishya merasa bingung dengan posisinya sekarang. Ia tidak tahu perlakuan Zain itu perlakuan yang biasa ia lakukan kepada cewek lain, atau Rishya diperlakukan lebih istimewa daripada yang lain?

Tapi katanya, Zain tidak menyukainya. Perasaan Zain ke Rishya biasa saja. Rishya serba salah jadinya. Rishya tidak dipilih, namun juga tidak diabaikan, begitu?

"Ya si cewek itu second choice berarti!" Celetuk Alora tiba-tiba.

"Kasihan ya cuma deket sama si cowok pas si cowok diabaikan sama ceweknya." Tambah Wina menggebu-gebu.

Rishya menatap kedua temannya bergantian dengan kening berkerut. Apa-apaan ini? Mereka sedang membicarakannya?

"Eh, apa sih? Kok tiba-tiba bahas second choice." Rishya tak mengerti maksud Wina dan Alora, jahat sekali mereka jika memang sedang membicarakannya. Terang-terangan di dekat orangnya.

"Lah, kita ini lagi bahas drakor. Ceritanya si tokoh utama suka sama dua cewek." Wina menunjuk-nunjuk ponsel Alora yang menampilkan sebuah drama Korea yang sedang mereka tonton.

"Bener tuh, si tokoh utama sasimo," Sahut Alora, terbawa emosi akan drama yang sedang ditontonnya.

Dibilang sedang membahas drama pun, Rishya merasa dirinya yang sedang dibicarakan. Ah, mungkin benar ia dia hanya dijadikan second choice, Zain tidak benar-benar menyukainya.

"Udah ah, gue pindah aja." Rishya lekas berdiri, menjauh dari Alora dan Wina.

Kelas mereka sedang melakukan pembelajaran olahraga di aula, murid laki-laki lebih dulu melakukan penilaian lari jarak jauh dan murid perempuan menunggu giliran di pinggiran lapangan.

Akhirnya Rishya memilih duduk di samping Zura yang sedang bergosip dengan murid perempuan lainnya.

Menyadari kehadiran Rishya, Zura dan temannya buru-buru menghentikan kegiatan ghibah mereka. Zura melirik Rishya dengan heran. "Kenapa gak sama Bu Ketua, Shya? Tumben amat."

"Mereka bahas drakor ah, gue gak tau tentang gitu-gitu."

Zura membulatkan bibirnya sebagai respon. Gadis itu kembali melanjutkan ghibah dengan teman sebelahnya. Rishya jadi merasa tersisihkan, ia beralih menonton para murid laki-laki yang sedang bersiap-siap untuk lari untuk mendapatkan nilai.

"Larinya sesuai absen. Dimulai dari Adrian Iqbal Arazkel, Ali Putra, dan Andreano Afrizain." Tegas guru olahraga mereka. Pak Adi mulai membunyikan peluit tanda supaya murid yang disebut lari sekencang-kencangnya sebanyak 20 kali.

Zain berada di urutan pertama, dengan tubuhnya yang tinggi dan kaki yang panjang menjadikan Zain sebagai murid XI MIPA 2 dengan lari yang paling cepat. Di belakangnya ada Ali yang jaraknya masih lumayan jauh dibandingkan dengan Zain.

Yang terakhir ada Iqbal, cowok tampak malas-malasan dan tidak berniat untuk mendapatkan nilai yang bagus.

"Iqbal, ayo yang cepat dong kayak Zain. Kamu ketinggalan jauh!!" Teriak Pak Adi disusul dengan bunyi peluit yang membuat telinga parw murid mati rasa.

Rishya terkekeh dan menutupi mulutnya dengan tangan, takut terlihat aneh ketawa-ketawa sendiri. Rishya menertawakan Iqbal yang jaraknya sudah sangat jauh dari Zain, kedua kaki Iqbal baru melangkah mungkin hanya 100 meter dari garis start.

Terlalu memerhatikan Iqbal yang malas-malasan, Rishya sampai tak sadar Zain memelankan larinya saat melewati Rishya. Zain tersenyum singkat kepadanya.

"Cie, Zain senyum tuh ke lo." Zura menggoda Rishya dan menyenggol pundaknya pelan.

"Ah gak mungkin, lo salah lihat kali. Gue aja gak lihat." Tampik Rishya, tidak ingin terlalu percaya diri sebenarnya.

Kalau yang dikatakan Zura benar, maka Zain lagi-lagi bersikap aneh, memang boleh laki-laki yang menyukai gadis lain itu tersenyum kepadanya? Zain hanya akan membuat Rishya berharap. Tidak, Rishya tidak ingin berharap kepada siapapun lagi saat ini, tidak peduli Zain tersenyum padanya atau apa, yang jelas Rishya sudah memantapkan hatinya untuk tidak menyukai Zain lagi!

Prit!

Peluit kembali berbunyi dengan nyaring. Zain dan Ali sudah berada di sebelah Pak Adi yang artinya mereka telah selesai melakukan lari 20 kali putaran. Sementara Iqbal sengaja diberhentikan oleh Pak Adi. Akan membuang-buang waktu jika menunggu Iqbal menyelesaikan lari 20 putarannya.

"Zain dan Ali sudah boleh istirahat di pinggir lapangan." Ucap Pak Adi, lalu beralih membentak Iqbal. "Dan kamu! Saya kasih nilai di bawah KKM, kamu kerjakan soal yang nanti saya kirim untuk menambah nilai!"

Iqbal mengangguk malas dan menjauh dari Pak Adi. Ia berjalan dengan lesu, kemudian mendudukkan dirinya di samping Zain dengan kedua mata yang tertuju pada seorang murid cewek yang duduk di seberang.

"Lo gak peduli nilai apa gimana sih, Bal?" Geram Ali, ingin rasanya membuka mata Iqbal lebar-lebar dan menyadarkan kalau nilai Olahraga juga penting.

Iqbal mengangkat kedua bahunya tak acuh. Biar saja ia mengerjakan tugas, yang pasti Iqbal malas berlari 20 kali di lapangan yang luasnya minta ampun itu. Iqbal kan bukan atlet lari.

"Bal, jangan gitu lah. Kan udah mau kelas 12, nanti lulus, baru deh nyesel nilai yang dibawah KKM." Kata Zain menasehati.

"Gapapa dah, kan bokap gue yang punya ini sekolah." Balas Iqbal santai.

Ali dan Zain sama-sama menghembuskan nafas lelah. Bodo amat lah tentang si Iqbal.

"Heh, lo sadar gak kalo si Rishya udah gak lihat lo terus-terusan?" Iqbal memelankan suaranya dan berbisik pada Zain.

"Lo urus nilai lo, bukannya urus hubungan orang!" Zain berdiri, tangannya berpegangan pada pundak Iqbal, tubuh Iqbal hampir oleng jika tangannya tidak bertumpu pada lantai aula.

"Mau kemana lo?"

Pertanyaan Iqbal tidak mendapat jawaban dari Zain. Zain melangkah menghampiri kerumunan murid cewek. Zain haus setelah berlari dan ingin meminta sedikit air, mungkin Alora membawa botol minumnya ke aula. Murid laki-laki tentu tidak ada yang membawa minum, percuma Zain meminta pada mereka.

"Alora, bawa minum nggak?"

Alora sedikit mendongak, setelahnya ia menjawab. "Nggak bawa, gue lupa bawa botol, ketinggalan di rumah."

Wina yang tak ditanyai ikut-ikutan menyahut. "Rishya bawa kayaknya, tadi gue liat dia bawa botol warna biru." Tangannya menunjuk Rishya yang duduk tak jauh darinya.

"Oh gitu, makasih infonya."

Zain berlalu dari sana, ia kembali duduk di samping Iqbal. Zain terlalu malu untuk meminta kepada Rishya, Rishya bukan sepupunya, berbeda dengan Alora yang sedari kecil sering berbagi bekal atau minum dengannya.

"Ada apa Zain?" Tanya Ali yang sedari tadi memperhatikan gerak geriknya.

"Gue tadinya mau minta minum ke Alora. Tapi ternyata dia gak bawa."

"Azab sih itu, makanya orang nanya tuh dijawab." Nyinyir Iqbal pedas.

Gelak tawa dari Ali terdengar, Iqbal pandai me-roasting orang.

"Ehm, kata Rishya ini buat lo. Minum aja karena botol Rishya baru, gak usah sungkan-sungkan!"

Suara Zura menghentikan tawa Ali. Sementara Zain mematung mendengarnya, Rishya memberinya minum?

"Ah, iya makasih ye Zur!" Bukan Zain yang menerimanya, melainkan Iqbal.

Zura segera tersenyum kecil, lantas membalik badan dan kembali ke tempat semula ia duduk.

"BERHASIL WINA!" Jempol Zura terangkat ketika rencananya dan Wina berhasil.

"WINA, ZURA, GUE BENCI KALIAN BERDUA!"

—15 Desember 2023 •Meyytiara

ZainrishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang