02

1.7K 105 3
                                    

"Ma-maaa.."

"Iya adek, ini Mama."

"Mama sa-sakitt."

"Adek, sabar sayang. Ada Mama di sini.." Diana meneteskan air matanya. Bahkan anaknya ini belum membuka matanya, namun mulutnya sudah mencarinya, dan mengadu padanya.

Diana marah sekali saat tau anaknya adalah korban bully. Meski dia belum mendengar cerita sesungguhnya, tetap saja ini salah. Satu lawan lima orang itu tidak seimbang. Apalagi namanya jika bukan tindakan bully?

Selama ini Diana hanya tau bahwa anaknya tidak memiliki teman. Diana juga sudah meminta pada Kafka untuk homeschooling saja, tapi, anaknya tidak mau, anaknya justru memberontak saat itu.

Diana berniat ingin menuntut kelima anak yang sudah menyelakai bungsunya hingga begini. Dia bahkan tidak langsung menyuruh Danish untuk ke rumah sakit, melainkan ke sekolah anaknya untuk segera menyelesaikan masalah.

"Mama.." Mata itu terbuka. Diana menghapus kasar air matanya kemudian mendekat dengan senyumannya.

"Jangan takut adek. Mama di sini, Mama sama adek sekarang." Dia mengusap pelipis anaknya lembut. Yang diperlakukan seperti itu hanya diam, dengan ringisan dibibirnya karna merasakan nyeri disekujur tubuhnya.

"Mama.. Mama maaf." Diana menggeleng.

"Enggak. Mama paham, adek ngebela diri adek aja, bukan? Tapi Mama mohon.. Jangan diulangi lagi, ya? Mama takut, Mama panik pas tau adek tiba-tiba udah di sini." Ujarnya lembut. Sebisa mungkin ia tahan rasa sesak di dadanya melihat keadaan bungsunya yang jauh sekali dari kata baik.

"Mama sakit, Ma. Badan adek sakit.."

"Mama tau sayang. Maka dari itu adek di sini, adek diobatin dokter, temen Mama, biar adek sembuh.."

"Papa? Abang, Ma?" Kafka mengedarkan pandangan. Yang ia tau ini adalah ruang IGD. Dia hanya melihat Mamanya di sini.

"Adek." Itu Zafran. Datang disaat yang tepat ketika adiknya menanyakan.

"Nah itu Abang. Abang titip Kafka bentar, boleh? Mama musti lanjut ke ruangan sebentar aja. Nanti ke sini lagi." Diana terpaksa. Dia harus tetap profesional menjadi seorang dokter. Pekerjaannya belum selesai, dan dia wajib menyelesaikannya.

"Paham, Ma.." kata Zafran. Dia memahami dilema yang dialami Mamanya.

"Sebentar aja ya, Kaf? Nanti Mama ke sini lagi. Mama hari ini udah nggak ada jadwal operasi kok. Tinggal nyelesain data-data aja."

Diana menghela nafas merasa tidak ada jawaban. Ketika lagi sakit seperti ini Kafka akan lebih manja padanya, itu tentu!

"Tinggal aja, Ma, nggakpapa." Kata Zafran membuat Diana mengangguk, dan berlalu dari sana.

"Udah, nggak usah lebay lu, ah. Mama bentaran aja. Sama gue di sini."

"Kok bisa sampe begini sih, Kaf? Ada-ada aja lu, kaget gue, kan. Siapa yang udah giniin lu emangnya? Kasih tau gue sini, biar gue hajar mereka."

"Kayak biasa." Ujar Kafka. Matanya memejam, menghalau rasa sakit yang masih sangat besar ia rasakan.

"Bocahnya si Rafi lagi? Anjir juga itu anak. Berani-beraninya sama lu." Kata Zafran dengan kesal. Beberapa kali ia mendengar cerita dari Kafka jikalau teman-teman di sekolahnya memusuhinya. Tapi sebelum kejadian ini terjadi, Zafran selalu berkata untuk tidak menanggapi, dan meminimalisir pertemuan yang akan berakibat pertengkaran. Tapi kini Zafran sudah sangat kesal. Adiknya tidak nakal, tidak juga mengganggu duluan, tapi mereka yang cari masalah, dan berakibat pada adiknya sekarang.

"Abis ini nggak usah sekolah, lah, homescholing aja. Gamau gue ngeliat lu begini lagi. Apa-apaan banget babak belur begini. Muka sama badan lu full lebam-lebam begini. Sakit hati gue. Gausah sekolah lagi aja, ya? Entar sebisa mungkin gue temenin lu di rumah. Nggak ada lagi lu keluar-keluar."

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang