09

1K 74 15
                                    

Meski rasanya hidup tidak berjalan sesuai keinginan. Tapi sebagai manusia sepatutnya tetap menjalankan. Biarlah rasa sakit menemani hari-harinya yang pahit. Mau menyerahpun untuk apa? Belum tentu tempat setelahnya itu yang terbaik nantinya.

Meski dipukul berkali-kali dengan lisan yang menyadarkannya. Kafka berusaha untuk tetap hidup meski katanya hidupnya tak berguna.

"Whatsupp bro. Asik, udah segeran ini gue liat-liat." Kafka tersenyum sedikit. Dia menjadi yang terakhir mengunjungi mema makan di makan malam kali ini.

"Ma, aku aja. Mama biar lanjut makan aja."

"Buset, langka bet ini langka." Tak mengidahkan, Kafka menyendok nasi serta lauk setelah menolak Diana yang tadi sudah memegang piringnya.

"Eh, Zaf. Kamu ini makannya harus banyak dong. Biar gemuk ini badan." Itu suara Dewi. Membuat mereka, kecuali Kafka menoleh ke asal suara.

"Segini aja lah.. Banyak-banyak banget. Gumoh entar."

"Ya nggak gitu lah. Kamu ini kan cucu satu-satunya kesayangan Nenek. Hidup tuh mesti sehat, makan banyak. Biar kuliah kamu, lomba-lomba kamu ni nggak ada halangan. Harapan satu-satunya keluarga itu kamu, kan.. Nggak ada yang la-,

"Bu." Diana menegur. Tak ada habisnya ini Ibunya.

"Nggak usah lebay lah, Nek. Aku tau diri aku sendiri." Zafran menatap Kafka selama berkata. Sungguh, tidak enak sekali rasanya. Adiknya ini pasti sakit hati. Terbukti dengan Kafka yang hanya diam tak menanggapi. Tapi ia yakin, telinga adiknya itu tetap mendengarkan hal yang menyakitkan itu.

"Dek.." Diana berusaha mengambil alih. Sakit hatinya melihat respon Kafka. Entah mengapa ia merasa dari siang tadi anaknya ini tidak banyak bicara.

"Di tambah loh ini sayurnya.. Mama buat khusus buat kamu, kan yang ini.." Tangan diana mengambil sayur ke piring bungsunya. Namun anak itu tetap hanya biasa saja. Merespon sesingkatnya. Mungkin ini Kafka versi ngambek? Batinnya.

"Dek. Papa abis checkout komik baru. Katanya sih recommended, ya. Buat kamu itu, biar nggak gabut-gabut amat.. Udah lama juga kamu nggak minta beli buku." Afeksi ini juga Danish lakukan demi membangkitkan gairah bungsunya itu.

"Makasih, Pa.. Nanti kalo udah dateng langsung aku baca."

"Lah, parah ini, aku kagak dibeliin? Wah, wah, sungguh teganya kau paduka." Memang dasarnya manusia dramatis Zafran ini.

"Beli sendiri. Punya duit juga. Enak aja."
Zafran mendengus. Mentang-mentang dia sudah punya penghasilan!

"Baca aja, Bang, duluan. Nanti baru kasih ke gue." Zafran terpaku ditempat.. Biasanya, adeknya ini biasa menimpali lelucon yang dia buat.. Kenapa ini enggak:)

"Aku udahan, ya.. Selamat malam semua."

"Punya idup gini amat yak." Ujarnya berbicara sendiri. Setelah pergi meninggalkan meja makan yang menimbulkan banyak pertanyaan. Bahkan ketika ia sampai depan kamar, Kafka masih mendengar suara panggilan dari Mamanya itu.

"Batu kena aer aja lama-lama bisa bolong. Apalagi gue. Sakit juga lama-lama. Kalo bisa milih mah, idup aja keknya gak mau kalo begini caranya.." Ujarnya, mendudukkan dirinya di ranjangnya. Susah payar ia tetap tegar tak ada tangisan. Tapi rasanya dadanya sesak seperti dihantam batu besar. Sakit hati sekali Kafka ini!

"Kalo boleh doa buruk juga. Pengennya doa, supaya bisa cepet meninggal aja, daripada begini terus. Semua orang gue rugiin.. Gakpapa mati muda juga, sebagai balasannya Mama bahagia sepenuhnya, Papa, Abang juga."

"Aashhhh!" Desisnya. Mentalnya sedang terganggu, namun fisiknya juga malah tak kalah mau. Faktanya, Kafka sebenarnya masih sakit kepala, hanya, demamnya sudah tak begitu seperti sebelumnya.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang