34

1.1K 77 8
                                    

Hari-hari berlalu dengan langkah-langkah berat. Waktu bagi Kafka seperti sebuah arus sungai yang deras, terus mengalir tanpa memberi ruang untuk menoleh ke belakang.

Setiap pagi, ia terbangun dengan rasa lelah yang menggerogoti, tubuhnya yang kurus bagai daun rapuh yang tertiup angin. Namun, di mata Kafka, ada sebuah api yang tak mudah padam, sebuah keinginan untuk bertahan, meski dunia seakan berbalik melawannya, meski di dalam dirinya terkadang ada rasa takut yang menyelusup, ada juga harapan yang terus dipupuk dalam hatinya.

Hari ini, Kafka kembali menjalani kemoterapi lagi. Diana duduk di sampingnya dengan tenang, tangannya menggenggam erat tangan Kafka. Mesin infus berdesir lembut, menghantar obat-obat yang meresap ke dalam tubuh Kafka. Wajahnya tampak pucat, kulitnya terasa tipis dan rapuh, seolah setiap detik yang berlalu semakin mengikis kekuatannya.

Namun meski rasa sakit datang begitu mendalam, Kafka tidak mau terus mengeluh. Sesekali, wajahnya memperlihatkan betapa sakitnya obat ini masuk, menunjukkan betapa besar perjuangannya melawan rasa nyeri yang terus menggerogoti tubuhnya, tetapi dia menahannya, berusaha untuk tidak membuat Diana khawatir lebih banyak lagi.

"Masih sakit, ya?" Diana bertanya, suaranya lembut.

Kafka mengangguk pelan, matanya sedikit terbuka namun tampak lelah. "Sedikit," jawabnya lirih, suara yang hampir tidak terdengar, dan kemudian dia menutup matanya sejenak, mencoba mengatasi rasa perih yang datang.

Diana tidak menjawab segera. Dia hanya meremas tangan Kafka lebih erat, menenangkan dirinya sendiri sebelum menenangkan anaknya. Diana tidak ingin menunjukkan bahwa dia juga takut, karena dia tau, di situasi seperti ini Kafka membutuhkannya sepenuhnya, bukan raut kekhawatirannya.

"Abis ini Kafka mau ke mana aja Mama bolehin, mau apa aja Mama kasih. Mama cuma minta adek kuat sekarang. Mama di sini, Mama tungguin adek sampe selesai."

Kafka membuka matanya perlahan, mendengar suara lembut Mamanya yang cukup membuatnya tenang. "Mau makan yang pedes tapi Mama yang buatin.." kata Kafka, memeluk lengan Mamanya dalam baringannya.

"Iya, nanti Mama buatin. Pokoknya apapun." Diana mengusap pelipis anaknya yang berkeringat. Padahal suhu ruangan dingin, tapi akibat kemo, Kafka yang merasakan nyeri jadi mengeluarkan keringat disekujur tubuhnya.

"Mau cumi rica-rica. Terus nanti Pake nasi anget. Kapan ini selesainya, aku udah laper." Diana terkekeh. Anaknya kalo udah bahas makanan pedes nafsu makan nya jadi nambah. Padahal, akhir-akhir ini lagi turun banget pola makan nya. Kalau nggak dipaksa, ya nggak makan.

"Sabar...belum ada satu jam, nak. Sabar, ya." Kafka mendengus, menatap obat yang tengah ditransfer ke dalam tubuhnya.

"Kapan aku nggak sabar. Kalo aku nggak sabar udah aku copot ini selangnya." Diana menggeleng, mengusap dada anaknya. Ia mengerti apa yang dirasakan Kafka saat ini. Lagi sakit disuruh sabar..

Setelah beberapa saat diam, Diana menatap dengan kerutan di dahi, melihat Kafka yang tubuhnya menegang. "Kenapa? Mual? Atau ada ngerasain sesuatu?" Tanya Diana, menelisik raut wajah anaknya yang mengernyit menahan sesuatu.

Kafka mengangguk, merasakan jika mulutnya terasa pahit, perutnya mulai berontak. "Ma, mual.." suaranya terdengar serak. Bibirnya mengerucut. Kafka sudah tidak menahan sesuatu yang tak bisa dipendam lagi.

"Hoeekk."

Tubuhnya bergetar, dan muntahan pertama keluar begitu saja. Diana segera memeganginya, mengelus tengkuk anaknya dengan lembut.

"Mama... maaf... kena baju Mama," kata Kafka pelan. Melihat lengan baju Mama yang sedikit terkena cairan yang keluar darinya. Diana hanya menatapnya, tidak ada apa-apanya soal muntahan itu. Ia tidak merasa jijik sekalipun!

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang