25

677 66 8
                                    

"Maaf, ya, Ma.."

"Mama udah bilang, hati-hati Kafka, hati-hati. Kenapa sih suka nggak perhatiin diri sendiri?!" Yang menjadi pusat pembicaraan itu memilin bajunya, tak berani menatap sesiapapun di sana. Terdengar padanya helaan nafas dari beberapa orang yang menjadi saksi dirinya jatuh setelah buang air kecil di toilet kamar rawatnya.

"Sudah-sudah.. Mungkin lagi gak fokus. Udah, ya? Uti minta sama perawatnya untuk disiapin kompres dingin aja, biar memarnya hilang." Diana menghela nafas, keluar dari lingkup kerumunan itu, dan mengambil tasnya.

"Abang, minta tolong antar Mama ke rumah, boleh?"

Kafka menatap kepergian Mama, dan Abangnya itu. Air matanya sudah jelas berlomba untuk turun. Insiden jatuhnya ini menimbulkan beberapa lebam di kakinya. Kafka ingat.. penderita kanker sepertinya memang terlalu rentan jika jatuh sedikit saja.

"Tau bakal jatuh juga engga.." ujarnya tersedu. Padahal, satu hari kemarin hidupnya dihiasi tawa, namun hari ini kembali dengan air mata.

Uti yang menjadi satu-satunya teman di ruang rawat ini menghela nafas. Mengusap lengan atas cucunya berupaya menenangkan. "Ud,-"

"Dek? Kenapa? Kok nangis? Tadi di depan ketemu Mama, katanya kamu jatuh? Apa yang sakit? Coba kasih tau Papa." Ditanya seperti itu membuatnya semakin terisak. Melihat Papanya yang menghampirinya setelah pulang kerja.

"Tadi jatuh setelah dari kamar mandi.. Jadi ini ada beberapa memar di kakinya. Istrimu sepertinya marah. Dia langsung pergi tadi." Danish memejam, berupaya memeluk anaknya yang terisak hebat dengan nafas senin kamisnya itu.

"Udah, udah.. Adek, nanti sesek lagi. Udah.. Mama nggak marah. Gausah dipikirin dek. Mama pulang cuma buat ambil baju-bajunya Mama aja, bukan karna marah sama adek.." Danish menghela nafas. Dia berkata seperti itu malah makin parah anaknya menangis.

"Kafka.." Kafka melepas pelukan. Berusaha menenangkan dirinya, mengatur nafasnya masih dengan nasul kanul yang tak pernah lepas darinya. Dirinya menatap Utinya yang membawa ice bag yang dibawa menggunakan baki stainless.

"Mama acting apa tadi? Cuma mau ambil baju kenapa dramatis dulu ke adek!" Danish tertawa kecil, masih berupaya mengelus bahu anaknya, sembari melihat pergerakan Ibunya yang akan mengompres lebam-lebam milik sang anak.

Padahal, dari perawakan yang dia lihat dari istrinya memang sedang kesal, namun tak bohong jika Zafran mengatakan kepadanya bahwa dia akan menemani Diana ke rumah untuk menyelesaikan beberapa keperluan.. yaa, sedikit menenangkan anaknya terkait pertengkaran dengan istrinya itu.

"Uti pelan-pelan, sakit ini.." keluh Kafka, menarik kakinya reflek menjauhi rangsangan ice bag yang tengah menempel di kukit kakinya.

"Iya, ini pelan-pelan kok. Tarik nafas makanya, dek."

"Kenapa bisa sampe jatuh si emang? Adek gak hati-hati apa gimana? Apa lagi bercanda sama Abang?"

"Aku it,-"

"Dia asik dengan ponselnya," Kafka mendengus. Malah Utinya yang menyerobot menjelaskan, memotong ucapannya.

"Lagi fokus dengan ponsel, kemudian kebelet pipis, tapi gamenya nggak mau ditinggal, jadilah itu ponsel dibawa masuk ke toilet. Kemudian ketika keluar, ruwet sendiri dia, pegang tiang infus, pegang ponsel, matanya fokus sama game, akhirnya tersandung, dan jatuh. Syukur-syukur itu infusan nggak sampai copot. Anakmu ini terkadang. Mamanya jadi marah-marah, karna sebelumnya memang sudah dikasih tau, tapi nggak didengar."

"Ya, kalo gitu ceritanya, semisal kejadian tadi ada Papa, Papa juga pasti marah sih.. Malah lebih-lebih dari Mama." Kali ini, susah payah Danish menahan emosi yang ingin meledak. Berusaha untuk tetap terkondisi karna takut kejadiannya seperti yang sudah terjadi. Kesal sebenarnya, tapi.. ya, anaknya ini memang agak lain..

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang