05

1.2K 75 5
                                    

Sore ini rasanya Kafka ingin sekali menyerah pada keadaannya kali ini. Ia tidak tau kenapa, isi di perutnya seperti memaksa dikeluarkan semua. Sampai-sampai, Kafka sudah merasa perutnya telah dikuras habis, namun rasa mual itu tak henti menerpanya.

Dia juga menjadi batuk terus-menerus semenjak tadi. Rasanya energinya terkuras habis. Dadanya sakit akibat paksaan batuk yang tak henti-henti.

Dirinya hanya bisa berbaring di ranjang. Padahal, keluarganya tengah libur bersamaan kali ini. Kafka merasa telah menghancurkan libur mereka akibat kondisi nya yang drop tiba-tiba.

"Kenapa lagi sih, dek, dek. Tiba-tiba gini.."

"Ada aja sih lu, dek. Bikin gue panik tau nggak."

Kafka tak menanggapi ucapan Papa dan Abangnya itu. Rasanya untuk mengucap satu katapun membutuhkan energi yang banyak sekali.. Padahal, beberapa jam yang lalu ia masih sempat ribut kecil, kan?

Diana datang terpogoh-pogoh. Dengan tas besar yang dibawanya. Yaa.. Sudah pasti itu treatment yang akan dia lakukan untuk anaknya. Turgor kulit Kafka sudah tak kembali secara normal. Kafka sudah dehidrasi, menyebabkan ia harus memasang cairan untuk sang anak.

Cairan, abocath, dan berbagai peralatan yang ia butuhkan sudah dikeluarkan. Ia mulai menjalankan aksinya untuk menolong anaknya.

"Ditahan sedikit, dek." Suaranya parau. Diana menahan suara tangisnya keluar. Alhasil hanya air mata yang bisa ia lampiaskan. Dia sudah berpengalaman di dunia kesehatan, namun jika anaknya yang membutuhkan perawatan, Diana seperti seorang yang tidak tau ilmu pengetahuan. Dia akan panik, dia akan bingung ingin melakukan apa, dia akan merasa bahwa dirinya tidak berguna. Padahal aslinya, jam terbangnya luar biasa.

"Dek, kalo kerasa sakit cengkram tangan gue aja, gakpapa." Kata Zafran. Dia melihat peluh di kening adiknya, yang rasanya menyedihkan sekali ia lihat.

Kafka tak peduli itu. Tubuhnya tetap tak bereaksi pada ucapan-ucapan siapapun. Bahkan rasa nyeri terkait prosedur pemasangan infus itu rasanya tidak apa-apa dibanding tubuh lain yang sedang menyerangnya.

"Apa salah makan, ya? Tapi makan apa. Adek nggak ada makan sembarangan, kan?"

"Setau Abang mah enggak, ya. Adek juga nggak sukaan sama makanan-makanan luar, kan."

"Minuman juga dia nggak suka yang aneh-aneh, kan, Pa. Tau sendiri anaknya pemilih banget."

Setelah memasang infus, Diana juga memberikan obat lambung untuk sang anak lewat injeksi, dia juga menambahkan dosis obat tidur untuk membantu anaknya yang terlihat tak ada daya.

"Gimana?" Diana hanya mengangguk. Setelah membereskan alatnya, dia menatap bungsunya yang terlelap tak terganggu. Membelai wajah itu, sekalian menghapus peluh yang keluar.

"Selalu mendadak." Ujarnya pelan. Matanya kini menatap anak sulungnya yang juga tengah menatapnya.

"Mau di rumah aja, kan, Bang? Mama minta tolong ditemenin dulu, ya, adeknya."

Sepeninggal Diana, Zafran tak membuka suara. Dia menatap Papanya yang juga akan berlalu dari tempatnya. Zafran menghela nafas. Mamanya pasti tengah hancur-hancurnya. Yang Zafran hafal sekali, meski Mamanya sudah banyak menangani pasien dengan riwayat sembuh, atau tak tertolong lagi, Mamanya baik-baik saja selama ini. Namun, berapa kali ketika kesehatannya Kafka terganggu, maka Mamanya akan tetap selalu seperti ini. Hancur, dan menyalahkan diri, tak berubah, dan, Zafran paham akan itu. Akan beda rasanya merawat pasien biasa, dengan pasien yang notabennya adalah darah dagingnya.

Dengan helaan nafas panjangnya, Zafran menarik selimut, membentangkannya hingga ke bagian dada adiknya. Kemudian ia ikut berbaring setelahnya.

Sementara Danish, ia mengetuk pintu kamarnya. Ketika dibuka, yang ia lihat adalah keadaan istrinya yang termenung, menutupi wajah dengan tangannya, di sisi tempat tidur mereka.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang