10

994 60 6
                                    

Malam ini Kafka sendirian, benar-benar sendirian.. mmm, tidak juga sih. Tetap ada Mbak Sari, namun Mama, Papa, dan Abangnya itu masih di luar, entah menyelesaikan pekerjaan, atau kegiatan apa yang Abangnya itu lakukan.

Setelah kakinya melangkah menuruni tangga, Kafka mengedarkan pandangan, sepi, sunyi sekali. Lalu langkahnya ia bawa ke dapur, ia belum makan malam, dan ini sudah di jam sembilan malam, sedaritadi ia lakukan untuk memainkan ponselnya hingga lupa jam.. Biasa.. Cowok:"

"Mantep bener ini ada ayam rica." Ujarnya, melihat hidangan di meja.

"Kayak baru idup lagi gue. Beberapa hari dengerin ocehan Nenek, sekarang bebas, berasa plong banget,"

"Kit ati nya masih ada sih, tapi bodo amat lah.. Tetep percaya diri aja gue, mau dibilang gak tau diri ya, sok wae atuh. Buktinya, Mama sayang sama gue, Papa juga, Abang juga. Ngapain mikirin omongan orang yang gak sayang sama gue, kan? Mikirin diri sendiri aja puyeng, ngapain mikirin omongan orang lain.. Makin-makin aja dah gue."

Bahasa nya mah...nyerocos aja gitu, sendirian, dengan kesunyian, sembari mulai makan. Lelah kalau selalu memedulikan omongan orang. Orangnya nggak ngomong dari hati, ngapain dimasukin ke hati?

"Betul, Mas!"

"MasyaAllah, Mba!" Terkejut dia! Mbak Sari nongol entah dari mana. Kafka mengusap dadanya, beneran kaget, sumpah!

"Ehh? Kaget, Mas? Aduh, maaf atuh, ya." Kata Mbak Sari. Dia sedikit mendengar perkataan sendirian dari anak majikannya itu.

"Mbak cuma setuju sama yang dibilang Mas. Kalo kita tuh gak perlu dengerin omongan orang. Capek ngeladeninnya, Mas. Mbak bersyukur deh, Mas cuek sama semua perlakuan Ibu Dewi. Sabar-sabarin aja, Mas. Bukannya sok ngajarin ya, Mbak. Cuma, ya, namanya manusia, punya mulut, cuma, tinggal kitanya aja, kan kita bisa milih mana yang mau masukin ke hati, mana yang enggak. Bukan begitu, Mas?" Jujur saja, beberapa hari lalu sebenarnya dia tak sengaja mendengar obrolan Kafka dengan ibu majikannya a.k.a Ibu Dewi. Ketika tengah mengepel lantai atas, dia melihat Ibu Dewi masuk ke dalam Kafka, dan seingatnya ada kebencian antara wanita itu dengan anak majikannya,

Lantas membuat Sari mendekat, dan merekam semua moment pembicaraannya itu. Bukannya lancang, dia hanya ingin punya bukti jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Atau saat kedua kalinya yaitu tadi pagi.. Entah, setelah kejadian tempo hari, dirinya jadi suka mengintip Ibu Dewi jika ada gerak-gerik mencurigakan, berakhir dirinya menjadi dua video, dan memutuskan untuk mengirim video tersebut pada majikannya. Karna Sari merasa Bu Diana itu wajib, dan mesti tau bukan hanya dia saja.

"Nah! Bener! Setuja, Mbak! Seratus, seratus!"

"Astaghfirullah, astaghfirullah." Terkejut juga Sari mendengar antusias anak majikannya yang menyetujui ucapannya. Tumben-tumbenan Mas Kafka begini..

Kafka menggaruk rambutnya. "Hehehe, ya, maaf deh, Mbak." Ujarnya dengan cengiran.

"Enak bener ini ayam ricanya, Mbak. Dah lama, Kafka gak makan ini." Mbak Sari tersenyum.. Anak-anak majikannya memang baik hati sekali, sering memuji, dan tingkahnya sopan padanya, yang hanya seorang pembantu di sini.

"Wah, makasih deh, Mas. Tapi, Mas muji gini gak bakal Mbak bikinin tiap hari juga loh, Mas. Bisa-bisa di marahin Ibuk gara-gara gak ganti menu." Ujarnya dengan tertawa kecil.

"Yeu, Mbak. Kafka juga gak minta dibuatin tiap hari kali. Opor ayam masih jadi tahta tertinggi bagi Kafka, Mbak. Sorry ye." Ujarnya, agak tengil emang anaknya.

"Dah sana, Mbak. Gak kangen sama bojo  nya, biasanya jam segini udah telponan." Sari salting ditempat ini mah. Ke-gep sama anak majikannya.

"Ehh? Aduh, jadi malu, Mbak. Yaudah, Mbak tinggal, ya, Mas." Kafka mengangguk. Melanjukan acara makannya, menikmati hidangan enak itu.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang