31

828 82 9
                                    

Malam sudah datang ketika bulan mulai menampakkan dirinya. Setelah drama kamar tadi, ia terlelap karena lelah sekali, dan bangun ketika matahari sudah hampir tenggelam. Bangun, tapi tubuhnya tetap tak kembali segar. Dia juga beberapa kali muntah, hingga mengharuskan Mamanya tak membantu keluarganya membuat makan malam.

"Aku belum ketemu Opa, Ma," ujarnya, melihati Mamanya yang tengah membaluri minyak angin di perutnya.

"Iya abis ini.. Makan dulu tapi, ya? Adek mau di sini aja atau mau ikut bareng sama yang lain?" Kafka menundukkan kepalanya. Ia lelah sekali menanggapi yang lain padahal belum satu hari ada di sini.

"Apa mau di halaman belakang? Di sana ada kursi, kan.. Sama Mama? Mau?" Kembali mengangkat kepalanya, Kafka menatap Mama.

"Mama mending gabung aja sama yang lain. Gak enak.. Kasian Abang sama Papa berduaan aja."

"Abang sama Papa, kan lagi pergi ke apotik, sayang.. Mama mau sama Kafka aja, gak boleh emangnya?"

"Boleh.. Adek seneng malah. Tapi emang Mama mau berantem lagi sama Nenek?" Diana mencubit hidung bangir itu.

"Anak Mama lebih penting. Ayo, nak. Adek mau tunggu di halaman belakangnya aja? Apa mau ikut Mama dulu?"

"Sekalian aja, Ma.." tatapan Mamanya tefuh sekali. Kafka merasa tenang tiap kali datang kekhwatiran. Mamanya tak akan membiarkannya berjalab sendirian, maka.. tangannya selalu digenggam.

"Mama mau deh ajak Abang sama Adek pergi ke sekitaran sini. Udah lama banget, kan ya, nak?" Sambil terus menggenggam anaknya, dengan langkah mereka, Diana selalu membuka bicara. Anaknya sudah tak cerewet seperti dulu.. dia rindu sekali dengan moment itu.

Dulu.. tiap ada kesempatan libur, mereka akan berkunjung ke kota ini. Sekedar untuk mengunjungi tempat yang menjadi favorit Diana. Tempat yang juga menjadi pertemuan pertana kali Diana, dan suaminya. Tapi entah, terakhir kali itu kapan. Semua ditutupi oleh luka hingga menyebabkannya melupakan hal-hal bahagia.

"Aku ikut aja, Ma." Diana mengangguk, kini merangkul anaknya dalam langkah mereka.

"Nanti bicarain lagi sama Abang, sama Papa. Masih ada waktu kok. Kita refreshing sebentar, setelah itu, kan adek harus kemo lagi. Nanti kita diskusi, ya. Mama ada jalan pintas lain untuk pengobatan adek."

"Makasih, Ma." Diana mengangguk lagi. Menatap Kafka yang hanya lurus ke depan saja pandangannya. Kafka benar-benar sedang tidak tersentuh mau dirinya mengajak bicara apapun juga.

"Iya, Kafka ma,-

"Astaga, pelan-pelan, Adrian." Kafka menatap itu, menatap sepupunya yang tak ada angin tak ada hujan, menyenggol Mamanya dari belakang. Padahal jalan luas, tapi tak terlihat kali, ya. Ketika melihat ponsel yang menyala, lantas Kafka menghela nafas. Pantes aja, karna ponsel semua jadi tak terlihat oleh mata.

"Tan, makanya kalo jalan buruan ih. Oh nuntun Kafka, ya, pantes. Maaf deh."

"Bisa sopan sama orangtua?" Belum juga menjawab, Diana menoleh pada Kafka yang mengeluarkan suara.

"Eh cil.. Suka-suka gue. Lagian elu. Jalan yang cepet, jadinya kan Tante Diana ketabrak sama gue."

"Makanya lagi jalan jangan main hp. Bukannya minta maaf, malah nyalahin Mama."

"Kok bacot banget gue liat-liat."

"Kafka.." Kafka memundurkan langkah ketika Mama mengusap dadanya. Menatap Adrian yang tengah kesal menatapnya.

"Adek, udah, Adrian nggak sengaja.. Mama nggakpapa kok. Udah, ya? Kan kita mau makan, sayang.."

"Tante aja yang makan, Tan. Gak usah ajak-ajak dia. Geli aku liat mukanya," Kafka memejamkan mata. Susah-susah ia menatap emosinya. Ketika tangannya terkepal, ia menatap Mama yang menyentuh tangannya, kemudian menatap Adrian yang berlalu dari sana.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang