30

528 59 9
                                    

Hari-hari terus berlalu. Sedih, senang, suka, ataupun terkadang duka, semua mereka lewati meski dengan keluhan yang selalu terpatri.

Banyak sekali yang terjadi. Entah itu Kafka, Diana, Danish, hingga Zafran.. Semuanya diuji. Tapi lagi-lagi, sebagai manusia harus bisa menjalani kehidupan dengan baik, kan?

Rakafka.. sosok paling rapuh diantara mereka. Semakin hari, kondisinya terbilang buruk. Entah hal yang bisa dilihat dari segi fisik maupun yang tak bisa dilihat seperti mentalnya yang teracak-acak. Setelah mengetahui fakta bahwa penyakitnya berlanjut ke stadium dua.. rasanya Kafka semakin pesimis saja. Ia tak tau ini akan berakhir dengan keberhasilan, atau kekalahan, menyerah pada semesta.

Anak itu lagi-lagi sering menyendiri. Lagi, dan lagi tak ada Kafka yang mau bergabung di ruang keluarga jika bukan karna terpaksa. Jikalau dulu ia yang paling sering di sana, bahkan ia yang sering memaksa semua anggota keluarga untuk menemaninya di sana, maka tidak ada lagi yang melakukan itu beberapa waktu ini. Dirinya sibuk di kamar, entah dengan keterdiaman, atau mencoba sibuk walau tak tau arti 'sibuk' sebenarnya itu apa.

Kafka telah kehilangan banyak bobot tubuhnya, kehilangan rambutnya yang dulu hitam legam, dan selalu segar. Kafka.. remaja yang kehilangan semangat hidupnya.

Dahulu, Kafka bukan orang yang minderan, tapi sekarang.. sebutan itu sepertinya sudah bersanding di dirinya. Kafka tak suka orang-orang disekitarnya mengatakan hal bullshit terkait bahwa fisiknya yang berbeda tak mengubah ketampanannya.

Karna faktnya, itu semua bohong, hanya untuk menghiburnya. Meski Mama, Papa, dan Abang berkali-kali membuatnya tak berkecil hati, namun tetap saja. Fisiknya berbeda, kulitnya putih namun pucat sekali, juga kering di kulit yang seringkali membuatnya kesakitan jika bergesekan dengan barang, tubuhnya kurus, walau Kafka tetap terlihat seperti anak yang terurus. Bibirnya sering kali mengelupas, hingga terkadang dia sendiri yang sengaja mengelupasinya.

Kafka merasa ini bukan dirinya..

Meski begitu terkadang senyum, dan tawa masih terpatri di wajahnya.. Meski tak tau ia benar-benar bahagia atau hanya membuka suasana agar tak selalu sunyi saja. Ketika beberapa kali ia dipaksa untuk bergabung, di sana Kafka masih bisa menimpali kejahilan atau ledekan Abangnya, Kafka masih mau diajak bermain ps bersama Papa, dan tertawa meledek ketika Papanya kalah berakhir dengan mentraktir makanan mereka semua. Kafka juga dengan senang hati menerima lelucon Mamanya yang selalu menghiburnya karna ia tau..

Mama juga terpuruk dengan ini semua. Di waktu sore, ia sering memergoki Mamanya melamun dengan tatapan kosong di halaman rumah lewat jendela kamarnya. Atau bahkan juga Mamanya yang ketahuan menangis tiap kali ada hal yang mengingatkan ia dengan Kafka sebelum penyakit ini ada.

•••••

Siang ini mereka layaknya manusia yang sibuk akan duniawinya. Diana.. Dengan tingkah sembrono alias grasak-grusuk tak beraturan itu tengah memasukkan beberapa pakaian dengan asal ke dalam tas yang cukup besar. Hari ini, ia baru saja dikabari jika Ayahnya--Ayah kandungnya yang beberapa hari lalu pulang dari luar negeri itu jatuh sakit. Sakit yang tak biasa, karna Ayahnya memang sudah lansia, kesehatannya sering menurun meski ia lumayan jarang berkabar dengan Ayahnya yang berkewarganegaraan Swedia.

Dari kecil, Diana, Ibu, Adik, dan Kakaknya memang sering ditinggal jauh.. Bahkan dulu Diana pernah disebut sebagai anak yang tak memiliki Ayah. Padahal.. Masih, masih memilikinya.. Namun Ayahnya itu tinggal jauh diseberang sana. Tidak, orangtuanya tidak bercerai, tetap menjadi suami istri, dan terkadang Ibunya pun pergi ke negara sana untuk menjenguk, atau Ayah yang pulang ke rumah, dan tinggal beberapa bulan. Alasannya selalu bahwa Ayah memiliki usaha, dan lebih nyaman di sana. Entah.. kalau diingat, sedih juga kisah masalalunya harus memiliki keluarga yang tidak lengkap meski mereka masih sama-sama di dunia. Maka..

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang