01

2.8K 123 7
                                    

Eh ini mah warning, ya.. Suka ada kasarnya dikit...
______________________________

Pagi masih gelap. Pagi ini yang tak bersahabat, padahal hati menginginkan pagi yang terang, raga juga menginginkan mentari benderang, namun kenyataan tak seperti yang terbayang.

Tangannya menyibak gorden yang memperlihatkan awan yang meneteskan hujan, dengan sepi jalanan dan mobil yang dapat dihitung dengan tangan. Kemudian dia menghela nafas, ketika tau bahwa matanya terbuka di pagi yang belum terang. Dirinya lapar!

Tangannya membuka pintu kamar, melihat suasana sekitar yang gelap tak ada orang. Kafka melangkah pada dapur berharap menemukan sesuatu di sana.

"Yahh.. Nggak ada!" Sungutnya. Padahal dia sudah membayangkan memakan makanan sisa semalam, tapi ternyata sudah habis tak tersisa.

"Masak mie aja apa, ya? Dimarahin Mama nggak, ya?" Ujarnya sendiri. Pasalnya apapun yang masuk ke dalam mulutnya harus diketahui dan dipantau sang Mama. Tapi kini mau bagaimana? Kafka hanya berfikir bagaimana caranya untuk kenyang!

"Ah masa bodo!"

Ditengah kegiatan masaknya, Kafka memotong beberapa cabai sebagai pelengkapnya, demi apapun dia tidak bisa tidak makan pedas, namun Mama Papa nya itu selalu mencampuri seleranya, melarangnya dengan berbagai cara, dan Kafka selalu kalah soal itu.

"Mas Kaf."

"Eh astaga?!"

"Mba Sari ngagetin aja, ah! Kafka kaget tau, dikira siapa tiba-tiba nepuk pundak gini." Yang di ocehi hanya tertawa pelan, kemudian Sari sebagai art dirumah itu mengedar, melihat aksi yang ada didepannya.

"Mas Kaf masak mie pagi-pagi gini? Subuhan juga belum. Laper, ya? Kenapa nggak bangunin Mbak?"

"Gaenak lah, belum waktunya Mbak bangun, masa aku bangunin gara-gara aku la--

"Mbak Sari ada apa, Mbak?"

Bencana!

Kafka merapatkan bibirnya ketika belum selesai menyelesaikan bicaranya. Kenapa tiba-tiba ada suara Mamanya? Bukankah seharusnya masih berada di rumah sakit?

"Dek. Kenapa di sini? Masih pagi banget ini. Lagi nggak kenapa-napa, kan?" Yang ditanya menggeleng, menatap Mama yang menangkup Pipinya.

"Mas Kafka sepertinya laper, buk. Ini dia masak mie sendirian, terus dari kamar Mbak denger suara Mas, pas Mbak ke sini ada Mas lagi masak mie sendirian." Kafka hanya menyengir sembari mengaduk mie-nya yang mendidih. Kepala Mamanya itu menggeleng-menggeleng setelah mendapat penjelasan dari Mbak Sari barusan.

"Apasih, dek. Masa mie lagi, mie lagi. Lima hari lalu prasaan mie juga, kan? Bangunin Mbak sebentar gakpapa juga loh, dek. Emang semalem kamu kurang kenyang? Sampai kelaperan dini hari begini." Wanita cantik yang menyampirkan jaz putih kebanggaan ditangannya itu tak hentinya mengkritik bungsunya. Kafka ini susah diatur, Kafka ini susah dilarang-larang, tapi, Kafka ini harus, mesti, wajib diperhatikan. Remaja empat belas tahun ini tubuhnya berbeda, imunnya berbeda, maka dari itu hal kecil saja bisa jadi masalah besar bagi Diana sebagai Ibu-nya.

Berprofesi sebagai Dokter spesialis bedah membuatnya banyak tau tentang dunia kesehatan. Maka dari itu dia melakukan yang sebaik-sebaiknya untuk bungsunya yang bisa dikategorikan sebagai 'spesial'. Kafka tak seperti Zafran yang bahkan remaja menuju dewasa itu adalah atlet terkenal. Sementara Kafka adalah remaja dengan banyak kekurangan, yang hidupnya penuh dengan aturan. Dalam hari-harinya, Kafka hanya bisa normal dalam hal bersekolah, pelajaran formal maupun non-formal. Setelahnya anak itu harus menghabiskan waktunya di rumah dengan berteman kepada kesepian. Siapapun ia ajak bersanda gurau di sini, di rumah ini.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang