13

789 61 3
                                    

Pagi yang berbeda. Bukan pagi yang disibukkan dengan lelaki dewasa yang mencari dasi entah di mana, atau si wanita dewasa yang sibuk sekali dengan urusan rumah tangga, juga persiapannya sebelum bekerja.

Kini hanya ada mereka yang tengah duduk di tepian, memandang asri sekitaran. Benar-benar menyegarkan mata!

Pagi ini, mereka tengah ada di depan area vila. Di depan vila terdapat sebuah sungai, dengan air terjun yang tak jauh. Dengan pakaian mereka yang, menutupi dinginnya bandung di pagi ini. Tapii, tak menyurutkan semangat seorang Zafran mengeksplore sekitaran. Terlihat, dia yang sudah nyebur, sudah naik turun dari batu ke batu yang lain, sudah berfoto, semua sudah dia lakukan.

Kafka? Yaa... Bocil itu mah tidak bisa diharapkan jiwa-jiwa alamnya. Terbukti dengan dirinya yang hanya duduk di kursi kayu panjang terlelak di pinggiran. Dengan hoodie coklat muda, membungkus tangan, hingga rambutnya, dengan celana panjang yang menutupi kaki jenjangnya. Pemuda empat belas tahun ini cuma sibuk dengan potretannya, mencari spot foto yang akan diapandang dihari-hari kemudian.

Mama Papanya? Pacaran ini di sampingnya. Jika normalnya, anak akan berada ditengah-tengah antara orang tua, tidak dengan kali ini. Kafka seperti nyamuk, yang 'dianggap' keberadaannya. Karna, tangan kiri Mamanya mah sibuk dengan Papanya, tangan kanannya? Ada pada Kafka.... Keluarga yang unik:)

"Kayaknya enak Di beli rumah, atau vila kayak gini. Biar jadi tempat pulangnya kita-kita kalo lagi capek, kalo bosen di rumah."

"Ide bagus, Mas, dan gak begitu jauh juga dari Jakarta, nggak makan waktu banyak. Daerah Bandung ini sepertinya banyak vila, atau rumah-rumah mirip kayak gini, ya. Senggaknya berapa bulan sekali kita musti ada waktu quality time bareng anak-anak. Aku kadang suka gak puas ketemu anak-anak cuma tiap sebelum, sama sesudah kerja, atau pas weekend. Rasanya waktu sempit banget. Bahkan lagi kerja pun kepikirannya, anak-anakku lagi apa, Mas lagi ngapain.. Terusnya maunya pulang cepet aja gitu."

Diana si paling bucin keluarga. Cintanya besar sekali untuk keluarga kecilnya ini. Yang jika ada yang usik sedikit, Diana kalau bisa, dan boleh, akan marah pada semesta.

Kafka tersenyum mendengar pembicaraan hangat itu. Pembicaraan yang lagi-lagi menyadarkannya pada kecintaan keluarganya satu sama lain. Kalau begitu, apa yang perlu Kafka keluhkan lagi?

Kafka memegang hidungnya, ketika tiba-tiba merasa ada yang mengalir pelan di dalamnya. Ketika ia pegang, dan lihat, Kafka terkejut.. Itu darah. Buru-buru Kafka menghapus itu, dia menunduk, berusaha meninggalkan jejak, mengusap sisa-sisanya ke balik kursi kayu. Ya Tuhan demi apapun jangan lagi, jangan mulai lagi, disaat mereka tengah menikmati ini.. Selepas dia bersyukur atas nikmat Tuhan yang luar biasa ini..

"Apalagi ini.." batinnya.

Kafka berusaha menetralkan degup jantungnya karna ia panik. Takut sekali hal ini diketahui oleh keluarganya.

"Dek, gak mau gabung sama Abang?" Kata Danish yang bahkan tak terdengar di telinga Kafka.

"Sana dek, Papa izinin. Jangan lama-lama tapi, dan harus hati-hati. Sana, kasian tuh Abang mu jomblo, sendirian kayak my trip my adventure."

Tawa mengedar di udara didapat dari Diana. Suaminya kadang jokes nya diluar nalar.

"Hei, sayang? Kenapa?" Keterdiaman dari tawanya, melihat Kafka yang sama sekali tak menanggapi. Dia mengguncang bahu anaknya pelan, tapi anak itu tetap tak sadar.

"Waduh jangan-jangan kesambet." Celetuk Danish yang berhasil membuat Diana menoleh, dan melotot.

"Nak.. Kafka ada apa?" Kali ini dia mengguncang kedua bahu itu, membuat Kafka mengerjap pelan, dan tersadar dari lamunan.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang