16

910 64 6
                                    

Memutuskan untuk pergi pulang. Tidak akan ada yang bisa membantah keputusan Diana. Karna, benar, kan? Keluarganya itu mengajak menghabiskan sisa liburan bersama. Dengan kerasnya Diana menolak mentah-mentah ajakannya. Anaknya sakit hey! Kafka terserang demam. Kejadian di mana Kafka pingsan tiba-tiba itu mulanya. Ketika sampai di villa, dan malamnya, panas itu tinggi sekali, bahkan ketika Diana cek suhunya hingga tiga puluh sembilan koma dua. Kondisi Kafka yang seperti itu yang lagi-lagi membulatkan tekadnya untuk pulang.

Masa bodo Diana mah mau di protes kayak mana, bahkan hingga dia lagi-lagi bertengkar dengan suaminya. Maka tanpa aba-aba, setelah shubuh, Diana, Zafran, Kafka pergi dari sana. Suaminya? Males Diana juga, mereka bahkan tidak tidur bersama, masih bertengkar mereka. Gak habis fikir, Danish ini terlalu nurut betul sama mertuanya, dengan alasan 'menghormati'. Sebal sekali Diana, helow! Menghormati ya boleh, tapi mikir anaknya kayak gini..

"Gak turun-turun panasnya.." keluh Diana. Sembari dirinya menyuapi bubur yang tadi ia beli di pinggir jalan, Diana mengecek suhu anaknya dengan punggung tangan. Lesu sekali anaknya itu.

"Mau beli penurun panas aja apa, Ma?" Kata Zafran yang sendirian berada di kemudi depan.

"Boleh, Bang. Nemu rest area mampir dulu, ya." Di depan Zafran mengangguk. Menatap dari kaca depan adiknya itu yang bersandar bangku, kakinya juga dipangku oleh Mamanya itu. Ini Kafka kecapean sedikit, menimbulkan masalahnya banyak :v

"Lagi, ya.. Tanggung ini sebentar lagi habis." Kafka menggeleng. Bocil dengan style'an jaket cream tebal, celana hitam panjang lengkap bersama kaos kaki yang menutupi. Badannya ini panas, tapi Kafka menggigil selalu.

"Sekali lagi aja, sayang." Dengan malas Kafka menurut. Kalau lagi sakit, Kafka mending jadi anak baik, kalem, nurut aja nurut.

"Iya ini minum obatnya dulu." Kata Diana mendengar rengekan bocil rasa bayi ini. Anaknya itu terus mengeluh sakit kepalanya. Padahal, iya, Diana tau.

"Sakit ba-nget, Mama.."

"Iya sayang, iya. Sini, sini. Kasian anak Mama ini." Diana menarik lengan anaknya itu, memasukkan Kafka kedalam rangkulannya, menyandarkan tubuh Kafka di dada kirinya. Memijit-mijit pelan kening atas Kafka.

"Sayangku.."

"Makanya, nak, kalo udah ngerasain nggak enak langsung bilang, nggak usah maksa.. Kafka yang tau diri sendiri, tau porsi sendiri, kuatnya segimana, kuatnya badan Kafka sampe mana.. Jangan karna liburan, Kafka maunya lebih extra, lupa sama kesehatannya."

"Mamaaaaa.." keluhnya. Diana terkekeh. Kafka kalau lagi sakit ni sensitifnya war biasyahhh, manjanya apalagi, kan.. Kata Kafka, udah sakit masih aja dinasehatin!

"Adekmu ini loo, Bang. Tiap sakit tingkahnya ngegemesin.." Zafran terkikik. Iya, dia juga mengiyakan itu.. Umur empat belas tahun nggak tercantum tiap Kafka sakit begini..

"Inget Mama pas SD.. Adekmu tiap kali di sekolah sakit, terus Mama jemput itu yaampun, mintanya digendong. Sampe sesek leher Mama erat banget pegangannya kayak mau ditinggal aja. Itu mungkin berhenti sampe kelas enam, ya. Udah gede, enggak malu tiap temen-temennya ngeliat Mama gendong dia."

"Mama sanggup juga gendong itu sapi."

"Mamaaaa..

"Mending sumpel aja deh itu mulut kambing."

"Heh, cil. Songong amad lu." Sahut Zafran.

Diana menempelkan telunjuk tangannya di bibir anaknya, mendekap anak itu yang masuk ke dalam pelukannya. "Syuttt, sayang. Udah, dibawa tidur, ya, biar pusingnya reda."

"Bocil manja, bocil manja."

"Abang.." Zafran menyengir, ketika ditegur Mamanya itu. Melihati dari kaca depan, Mamanya yang tengah, istilahnya mah ngelonin adeknya itu. Mulut Mamanya tu kek lagi ngelonin bayik. Adiknya ini kalau sakit dan Mamanya tengah banyak waktu bersama, beginilah jadinya. Intinya mah Mamanya punya Kafka seorang.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang