"Sorry, ya, Dok."
Dalam ruangan yang tak terlalu besar itu Diana menangis tertahan. Pandangannya tetap ke depan, di depan rekan sejawatnya, dokter yang.. kini mendiagnosa putranya.
Dunia Diana rasanya runtuh, pondasi yang bertahun-tahun ia bangun mendadak jatuh. Ketakutannya benar terjadi, mimpi buruknya kini dihadapannya. Rasanya, Diana sampai tidak tau caranya menerima keadaan bagaimana.
"Gue mesti gimana, dok,"
"Mutasinya cepet banget. Gimana caranya buat dia sembuh. Gue nggak sanggup.." Tak bisa lagi berkata-kata selain isakan tertahannya. Nyatanya, mendengar fakta penuh sesak itu membuatnya ingin mati seketika.
Kenapa keluarganya lagi, anaknya lagi, bungsunya lagi.. disaat banyak yang di sana hidup biasa, namun dia tak bisa, anaknya tak bisa, keluarganya tak bisa.
Disaat Diana berbangga hati, berhasil menyelamatkan banyak jiwa, namun menghindarkan anaknya dari bahaya ia tak bisa, hingga menjadi korban lagi.
Tak sanggup lagi ketika sampai di depan anaknya. Kafka terpaksa harus dapat penanganan di kamar rawat. Entah tiba-tiba kondisinya menurun. Padahal tadinya, niat hati hanya ingin menerima hasil check up yang katanya sudah selesai, setelah satu minggu lalu anaknya melakukan pemeriksaan akibat kondisi terakhir yang cukup banyak sekali gejala, namun kenyataannya dokter meminta untuk dirawat..
Kafka rasanya sudah mendapat alarm bahaya. Tau-tau ketika membuka mata, ia melihat Mamanya di depannya. Rautnya beda. Kafka tidak tau itu kesedihan atau apa. Mamanya hanya melihatinya, tapi tatapannya kosong seperti jiwanya tak ada di sana.
"Mama.."
Hanya berdua. Abangnya izin tidak bisa menemani, Papanya apalagi, gakbisa diganggu gugat pekerjaannya. Ini pun Diana sebetulnya masuk siang, pagi-pagi mereka berangkat ke sini.
"Ma.." seakan sadar yang membawanya pada kenyataan, Diana mengerjap, lalu memfokuskan pandangan. Dia tatap netra itu, netra yang mirip sekali dengannya itu.
"Iya sayang. Gimana? Udah mendingan?"
Kafka menghela nafas. "Sama aja. Gimana hasil pemeriksaan yang kemarin, Ma? Abis ini pulang aja, aku gakpapa kok ini."
Diana menatap sendu anaknya. Gimana mau pulang... bahkan keadaannya lebih-lebih dari yang anaknya kira.
"Nginep di sini dulu, ya, dek.. Kata dokternya Kafka butuh di sini dulu."
"Loh kenapa, Ma?" Dalam baringannya Kafka bertanya.
"Hasilnya buruk, ya, Ma?" Ketika melihat raut berbeda yang ditunjukkan Mamanya tiba-tiba, membuat Kafka paham.. bahwasanya.. ada hasil yang memang tidak mereka inginkan.
"Sakit apa, Ma?" Runtuh se runtuh-runtuhnya. Diana menangis deras memeluk paksa anaknya. Takut untuk mengungkapkan, tak siap melihat keterpurukan yang lebih dari ini.
Diana bingung bagaimana cara menjelaskannya.. Tangisnya mampu menjawab seberapa rapuh jiwanya. Tangannya mencengkram kuat baju belakang anaknya dalam pelukan mereka. Demi apapun Diana takut kehilangan anaknya.. takut anaknya menyerah begitu saja.
"Ma?"
"M-ma-maaf, nak.. Ma-afin Ma-ma, sayang..."
"Kita berjuang sama-sama, ya, kita berjuang."
"Sakit apa, Ma? Dugaannya itu bener, ya?"
"Ma, sakit apa?!" Sudah memaksa sekali, tapi Mamanya hanya diam. Lantas, dengan terpaksa Kafka mendorong melepas pelukan dengan paksa, ingin melihat wajah Mamanya. Sementara wajah Kafka mendominasi bingung.. ini apa? Dia nggak tau apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABOUT RAKAFKA
Teen FictionTentang Rakafka. Remaja yang sibuk pada dunianya, dunia monotonnya. Si yang selalu mengerti apa yang orang mau, tapi susah untuk mewujudkan yang dia mau. Kafka yang berbeda, remaja yang tak biasa. Hidupnya indah, tapi banyak yang tak tau dengan diri...