11

833 55 8
                                    

Kafka menghela nafas, merasa jengkel dengan ini semua. Kenapa musti liburan jika menimbulkan perdebatan? Kali ini dia hadapkan pada situasi di mana kedua orangtuanya bertengkar. Liburan kali ini memang sulit sekali dijalankan. Pasalnya hari ini terdapat dua jadwal. Nenek dari pihak Ibunya itu mengajak mereka liburan, sementara Mamanya dan mereka juga akan pergi di hari sekarang. Dan itu... kini menjadi perdebatan kedua orang. Padahal, Kafka sudah rapih dengan pakaiannya.. ngeselin, kan? :v

"Kamu juga gak bisa gitu. Mereka keluarga mu juga, Di. Seenggaknya kita setor muka sebentar, biar nggak menimbulkan masalah. Kamu tau sendiri Ibu gimana."

"Ya karna aku keluarganya, aku tau mereka, makanya aku gak mau dateng, Mas. Kamu kenapa gini sih? Di sini aku cuma jaga perasaan anakku aja. Aku nggak mau dia ngerasa gimana-gimana nanti, apalagi Ibu udah kasih reminder ke kita buat gak bawa Kafka. Kamu ini mikir gak sih, Mas?"

"Kasian mental anakku kalo gini. Kamu jangan cuma peduli sama fisiknya aja, mentalnya juga kamu pikirin."

"Terserah kalo kamu mau dateng, ya, yaudah sana. Aku enggak, aku mau langsung pergi sama anak-anak. Gak masalah tanpa kamu juga."

"Maaf, Pa, Ma, aku ikut campur. Tapi, kalian berantem gini juga bikin Kafka gak enak tau gak? Ma, Pa? Jangan gini lah. Tiap apa-apa ribut terus. Gak kasian sama kita-kita? Tuh liat Kafka, gimana perasaan dia coba ngeliatnya?" Keduanya menoleh, pada Zafran yang ikut bicara. Sumpah, muak betul lihatnya. Niat mau seneng-seneng, malah gini akhirannya.

"Bicarain baik-baik, Pa. Terserah mau gimana keputusannya. Aku cuma mau, Kafka baik-baik aja, dia happy, kita juga."

"Tapi kalo ditanya, aku lebih setuju sama Mama. Papa sebagai kepala keluarga boleh aja ngewakilin kita. Atau kalo enggak, ya, Mama sama Papa yang ke sana. Aku sama adek biar duluan aja. Kita berdua duluan pergi, nanti Mama sama Papa nyusul. Gitu aja gak sih? Kenapa musti ribut segala."

Danish memijit kepalanya. Dia sering sekali tersulut emosi. Kadang, semua masalah menjadi satu hingga dia tidak bisa berfikir jernih. Sementara Diana hanya diam, sesekali memandang Kafka yang hanya duduk menangkup pipi melihati aksi mereka.

"Maaf. Iya, yaudah, kalo gitu kamu sama adek berangkat duluan. Mama, gimana? Setuju nggak? Maaf, ya, Papa kebawa emosi."

"Iya. Mau gimana lagi? Makasih Abang solusinya," Zafran mengangguk.

"Tapi, Abang bisa? Lumayan jauh perjalanannya, nanti kalo cape, banyakin istirahat aja gakpapa." Zafran mengangguk mantap, berusaha meyakinkan orangtuanya. Lagian dia bepergian jauh juga gak sekali dua kali, udah sering.

"Kafka, sini sayang." Yang dipanggil menghampiri, dengan beberapa bawang bawaannya sudah siap untuk pergi. Tapi sumpah, Kafka udah bete, malas kali mengeluarkan kata.

"Semua udah sama Kafka? Yang kiranya dibutuhin nanti?" Kafka mengangguk. Udah, lagian Mamanya juga yang tadi memeriksa.

"Maafin mama, nak.. Maaf, ya, udah buat kamu bad mood gini." Kafka mengangguk. Lantas, melirik Zafran yang sudah siap dengan barang bawaannya, membuat Kafka memeluk Mamanya berpamitan.

"Aku sama Abang mau berangkat." Diana mengangguk, mencium pucuk kepala seseorang yang ada dalam dekapannya.

"Iya hati-hati. Temenin Abangnya, ya."

Kafka menghebuskan nafas merasa lega ketika mereka berdua sudah meninggalkan rumah. Dia menyandarkan kepalanya di jendela mobil menghadap depan ke arah jalan dengan cuaca yang mulai panas ini.

"Dahlah, dek, gausah dipikirin beranteman Mama sama Papa. Mau liburan, kan, biar gak stres lu nya."

"Sebel gue kalo udah liat mereka berantem."

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang