23

772 66 3
                                    

"Kamu!—,

Gara-gara kamu!" Teriaknya penuh emosi. Menunjuk-nunjuk seseorang yang menurutnya menjadi penyebab terjadinya ini semua.

Hidup tidak berjalan semaunya, namun ada saja yang menjadi tambahannya. Masih banyak yang harus ia tata, namun ada lagi permasalahannya. Ada lagi yang membuatnya jatuh menanggung beban yang tak sirna.

"Ma, udah ya.. Udah."

"Kalo sampe saturasinya gaada kemajuan, kesadarannya masih gini-gini aja, Kafka bisa masuk ICU, masuk ruangan itu. Ya Allah..."

"Di ak,-

"Gak. Sana kamu! Aku gak mau liat kamu di sini!" Katanya. Menghempaskan tangan yang menahannya, kemudian masuk ke ruang rasat di mana anaknya berada.

Setengah hari setelah kejadian, tadi saat subuh tiba kondisi Kafka jauh dari kata baik-baik saja. Saturasi anak itu turun sekali, bahkan dalam pejamannya mulutnya meracau tak henti. Suhu tubuhnya tinggi, rona kulitnya jauh dari orang sehat seperti biasa.

Rasanya Diana ingin teriak sekarang juga. Sudah tiga jam mungkin.. tapi anaknya belum juga membuka mata. Tangannya meraih tangan bebas infus anaknya. Hangat... Membuatnya menempelkan pada pipinya.

"Kafka.."

"Jangan gini.. Saturasinya nggak naik-naik, dek, kenapa sih.."

"Maaf..,

"Maafin Mama, karna selalu berantem sama Papa tiap kali adek sakit. Mama gak terima, Mama gak akan pernah terima siapapun sakitin adek, bicara yang enggak-enggak soal adek."

"Maafin Mama karna nggak bisa kontrol emosinya. Tapi tolong, Kafka, Mama minta untuk jangan drop gini. Jangan nyerah, ya. Mama yakin Kafka bisa. Mama di sini, temenin terus, nggak ke mana-mana."

Matanya menatap iba di depannya. Air mata terus mendesak. Meski rumah sakit menjadi kesehariannya, namun tetap saja jika itu anaknya, rasanya masih belum terbiasa, dan takkan pernah bisa.

Dirinya menjatuhkan kepala. Lelah sekali rasanya walau hari ini matahari juga belum lama ada. Matanya belum ada ia istirahatkan. Jikalau ada, mungkin hanya 1 hingga 2 jam.

"Iya, kenapa?" Ujarnya kali ini. Tangannya memegang ponsel setelah mendengar dering yang mengganggu telinganya.

"Gue kan udah resign!"

"Nggak.. Nggak bisa, anak gue masuk sini."

"Dokter Indira cuti, dok."

"Ya terus? Dia sibuk, gue juga. Ya intinya gue udah ajuin resign."

Ponsel nya ia taruh asal di atas nakas. Rasanya kesal. Membuatnya memijit kepala. Pihak rumah sakit memintanya tetap mengisi di hari ini. Tidak, dia tidak mau. Lagipula jika memaksa, tidak akan fokus dia. Semua pikirannya teralihkan untuk anaknya.

"Ma, maaf.. Ada yang mau ketemu." Sambil memijit keningnya, dia menoleh, menatap Zafran yang membuka pintu dan menghampirinya.

"Dok.. Hari ini kita kekurangan dokter. Dan udah terlanjur dua pasien hari ini seharusnya ditangani sama dokter. Gimana? Seenggaknya ini terakhir kalinya, dok." Diana menghela nafas. Tidak akan mengira bahwa dirinya yang selalu dipandang sebagai dokter yang begitu menomor satukan pasiennya akan mengalami kebimbangan seperti ini.

"Itu juga tadi ada pasien masuk, minta rekomendasi lu buat jadi dokternya, Dok."

Diana benar-benar tidak ingin meninggalkan anaknya sekarang. Dirinya terlalu resah, takut ada hal yang tiba-tiba.

"Ma.." Diana menoleh, setelah dirinya diam tak  menanggapi apapun ucapan dari pihak management rumah sakit itu.

"Gakpapa. Abang jagain adek di sini. Mama jangan bingung. Pasien-pasien itu juga tanggung jawab Mama, bukan cuma Kafka. Mama tenang aja, adek sama aku. Aku pastiin adek baik-baik aja, Abang yakin."

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang