21

757 65 8
                                    

Berlalunya hari dengan berbagai cobaan silih berganti. Banyak yang terjadi. Banyak hal yang menjadi pelajaran di kehidupan nanti.

Hari ini, mungkin salah satu hari yang dinanti, namun ditakuti. Setelah melewati hari-hari kelam, hari di mana dirinya mengurung dari keramaian. Mungkin sudah empat hari dia begini. Kafka lelah, dia tidak tau mengapa, tapi rasanya setelah sakit, hatinya sensitif sekali. Terkadang ada hal sepele yang dia permasalahkan. Terkadang ada hal yang membuatnya enggan untuk berinteraksi dengan orang-orang.. Mamanya termasuk juga.

Terakhir kali, tragedi di meja makan itu membuatnya sedikit membagi jarak.. Lama kelamaan Kafka sadar.. ya memang itu betulan fakta, dan rasanya Kafka tidak berhak untuk merasa menjadi pemeran utama.

Dua moment yang penting. Tak bisa memilih tetapi harus memilih. Hari ini adalah pertama kalinya Kafka melakukan kemoterapi, dan hari ini pula waktunya Zafran mengikuti kejuaraan yang sedari seminggu, bahkan sebelumnya disibukkan dengan latihan-latihan.

Hal ini.. tentu saja sempat menjadi pertengkaran. Kafka lelah sekali rasanya, karna lagi-lagi ini tentang dia. Neneknya meributkan bahwa mereka semua harus menonton kejuaraan rock climbing atau sebutlah panjat tebing. Keputusannya mutlak, Kafka tak mau dirinya lagi-lagi menjadi pemeran antagonis yang egois. Dia mengancam, bahwa tidak akan mengikuti kemo jikalau keluarganya tidak ikut menemani Abangnya, khususnya Mamanya..

"Siap, ya, Mas?" Kafka mengangguk. Yaa, benar aja. Kemo pertama kali ini ia sendirian, gak sendirian banget sih, ditemani Mbak Sari a.k.a asisten rumah tangga di rumahnya. Kafka manut aja, yang penting keluarganya tetap dengan Abangnya, tanpa ada yang bersamanya. Agak sedih sebenarnya, tapi.. Lagi-lagi Kafka merasa ini memang seharusnya. Dia bukan pemeran utama, tak semuanya harus terjadi sesuai maunya, dan ada untuknya.

Kafka menarik nafas. Dalam hatinya ia berdoa supaya ini berjalan lancar.. dia tidak ingin mengecewakan siapapun...

•••••

"Anakku gimana, ya, Mas.."

"Udahlah, Mbak. Fokus dengan Zafran. Kamu ini gimana sih. Udah di sini pun pikirannya tetap sama dia. Zafran anakmu juga, Mbak.." Diana memijit kening. Sumpah dia mau menangis keras rasanya. Cobaan ini begitu berat untuknya.

"Bu, enggak gitu. Aku tetep fokus sama Zafran di sini, tapi gak bisa dipungkiri kalo aku juga tetep kepikiran anakku yang satunya, Bu.. Ibu pasti tau perasaan seorang Ibu kayak mana. Aku bimbang, aku resah." Dilema yang berat. Diana tidak mau dicap sebagai Ibu yang pilih kasih.. tapi yang kali ini sungguh sulit.

Disaat ini adalah pertama kalinya pengobatan anaknya, tapi dia malah tidak bisa menemaninya. Jikalau ada jurus membelah diri, mungkin Diana ingin...

"Ma? Ngapain?!" Seru Zafran. Sudah dengan atributnya, kini dia tekejut sekali.

"Kafka sendirian, Ma. Ngapain di sini? Mikirin aku? Ma, adek yang lebih butuh.. Ma tolong, Ma. Aku pikir Mama bakal tetep temenin adek, tapi ternyata.. Mama di sini. Ma, maaf, Ma. Ada yang lebih butuh Mama. Bukannya aku gak seneng Mama di sini. Masa adek sendirian, Ma? Abang bakal merasa bersalah banget kalo gitu.."

Diana semakin menahan tangis aja rasanya. Dia membayangkan Kafka di sana sendirian.. anaknya pasti takut, walau sedari kemarin terlihat biasa tentang kemoterapinya.

"Zaf, udah dipanggil tuh kamu!" Zafran melirik, itu Neneknya, yang menyebabkan situasi ini ada. Dia melirik Papanya juga. Entah, Zafran kesal sekali mengapa Papa Mamanya begini.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang