17

788 50 7
                                    

"Zafran, udah siang loh!"

"Zafraaannnnnnn!"

"Udah bangunnnnn!" Kafka menutup telinganya menjadi saksi antara Mama dan Abangnya. Padahal dia ada di ruang tamu, tapi teriakan Mamanya didapur, dan jawaban Abangnya di lantai dua menggema sekali ditelinganya.. Bisa bayangkam betapa ricuhnya keadaan pagi ini.

Pagi yang kembali sibuk, pagi yang di mana mereka kembali pada kegiatannya. Setelah adanya segala huru-hara entah sakit, atau masalah yang tak hentinya. Aksi marahan Mama Papanya, bertengkar mereka dengan keluarga... entah ujungnya bagaimana tentang keluarganya, perang dingin Mamanya dan keluarganya. Yang Kafka tau, intinya mah Papa Mamanya udah maaf-maafan kayak lebaran. Papa sudah minta maaf pada Kafka juga. Jujur, setelah permintaan dia yang ingin sekolah, hubungan keduanya menjadi renggang, entah Kafka yang ngambek sama Papanya, atau Papa yang belum mau mengizinkan.

"Yang gesit sedikit, nak, kamu kesiangan! Jam berapa ini Zafrannnn, katanya ada kelas pagi. Makanya jangan begadang terus!" Kafka memijit keningnya. Pusing. Terus ngoceh ibuibu itu, gak ada habisnya.

"Di, kaos kaki ak--

"Cari sendiri! Makanya kalo taruh tuh yang bener. Giliran mau dipakai gini, kan?!" Nah kan.. Kena juga si Danish. Ibu-ibu kalo lagi sibuk didapur, diajak ngobrol perihal lain juga males..

"Astaga.." keluh Danish, tak jadi menghampiri. Kafka yang melihat hanya tertawa-tawa saja. Dirinya mah santaii.. gak ada kerjaan, cuma lagi nonton duo botak tk gak naik-naik doang.

"Makanya, Pa, jangan bangunin macan.."

"Adekk." Kafka bersiap diri, ketika Papanya menghampirinya dengan gelagat mencurigakan.

"Papaaaaaaaaa!" Teriaknya geli. Tega bener ini Papanya menggelitikinya.

"Haa, rasain, makanya, ngeledek aja bisanya. Papa pusing ini nyari, heu, bantuin kek." Dendam kesumat sama anak sendiri. Danish puas banget liat Kafka kegelian ini.

"Papaaa, udahhh! Paaa, geli ah, Pa, ih!"

"Mamaa, Papa nihhh kelitikin aku."

"Masssss!!" Bencana. Kafka ngaduan, mana ngadunya sama yang paling berpower di rumah.. Bisa-bisa kena cincang dia.

"Mass, mau aku jadiin sop kamu?! Jangan macem-macem, ya." Danish bergidik ngeri, lari meninggalkan jejak, takut beneran dijadiin sop sama istrinya itu.

"Hahahhahahahha, maaf, Paa." Puas banget tawanya, merasa menang. Sebelum akhirnya dia menghampiri di mana Mamanya ada, setelah dipanggil barusan.

"Loh..." ini beneran Kafka terkejut terheran-heran bukan main. Kaget betul, di meja makan ada adik perempuan Mamanya. Kapan ke sininya dah? Prasaan semalem enggak ada? Kapan datengnya deh?

"Dek, ambilin gelasku coba, dek." Iya, itu Hukma yang menyuruhnya. Diana menoleh, melihat Kafka yang menuruti suruhan adiknya. Bukan apa-apa.. cuma dia kurang suka kalau ada yang nyuruh tapi gak pakai kata 'tolong'.

"Mama bikin apa sih, Ma?" Kata Kafka berdiri disamping Mamanya, membuat Diana reflek menjauhkan anaknya dari wajan di depan.

"Ini goreng ayam, jangan deket-deket!"

"Iya iya. Aku mau nugget deh, Ma. Aku goreng, ya." Diana menggeleng sembari fokus dengan kegiatannya. Mbak Sari lagi ke pasar. Stok bahan makanan udah tandas, harus kembali di isi.

"Mama mau buat ayam rica loh.. Makan itu kalau lagi kepepet! Ini Mama lagi ada waktu masak, masa mau yang lain."

"Tau, dek. Belagu kamu, mah. Terima yang ada aja lah, udah dibuatin juga lagian." Kafka menghela nafas. Gak diajak gak diajak, ngapain sih nyaut begitu? Males.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang