15

769 63 12
                                    


Mereka ini lagi explore sekitar lembang Bandung. Zafran lupa apa nama tempatnya, tapi dia puas sekali di sini. Siang ke sore, banyak tempat, makanan yang ia kunjungi, banyak wahana juga yang ia naiki. Berdua sama real bestie alias adek kicik pundungannya itu, dan tak lupa dengan dua orang bawel alias kedua orangtua mereka yang membuat kekeluargaan semakin hangat, meski...

Mamanya ini memang lagi emosyan gak abis-abis, marah-marah terosss, tapi Zafran mah sabar aja, karna...yang sering terkena pelampiasan itu, ya, Papanya.

Senang juga dia, melihat cerianya Kafka, yang lepas sekali, yang jarang sekali Zafran liat, meski adiknya itu sering menampilkan senyum dan tawa. Rasanya berbeda mana tawa yang benar-benar tawa mana yang tawa menyembunyikan luka.

Tangannya tak lepas merangkul adiknya yang mini alias hanya sebatas pundaknya itu. Ia sebenarnya sudah sadar dengan wajah pucat yang terpatri di adiknya, tapi Kafka bilang 'Masih bisa ditahan.' Dan adiknya masih memaksa mengexplore tempat ini dengan cuaca yang dingin di sekitar sini.

Mama Papanya? Ada di belakang mereka ini. Mama masih mode judez, sibuk sendiri dengan ponsel memfoto sekitaran, kalo Papanya? Mode merayu sang pujaan, Diana seperti orang ketempelan yang kayak gak ada wujudnya ini. Danish terus-terusan berusaha sosweet, tapi malah jadi sadboy yang ditolak dengan kekasihnya.. Derita!

Kafka dan Zafran berhenti melangkah, ketika mereka dipanggil. Entah permukaan wajah orangtuanya tiba-tiba berubah. Kafka dan Zafran saling pandang. Ni keknya ada berita buruk ini:)

"Siapa sangka..." Celetuk Zafran, setelah mendapat penuturan dari Papanya yang baru saja menutup telepon dengan seseorang.

"Plot twist juga." Kali ini Kafka yang mengekspresikan keterkejutannya. Dirinya juga kini tengah jadi sasaran empuk Mamanya yang melondetinya. Alarm bahaya yang baru mereka ketahui itu seakan membuat Diana tiba-tiba tidak mau berjauhan barang satu meter pun.

"Aduh pusing tiba-tiba ini Papa." Zafran menghela nafas. Sama, dia juga. Ini keknya mereka gak dikasih kesempatan buat seneng bareng-bareng berempat tanpa ada yang terganggu.

"Gak tau deh aku bakal berekspresi apa." Kafka memeluk Mamanya mendengar itu. Ini akan menjadi depresotnya Diana menghadapi keluaganya entah episode ke berapa.


"Mbak!" Diana udah menghela nafas aja mendengarnya. Ketika kini, mereka mendatangi tempat 'janjian' karna tiba-tiba Ibuknya itu bilang kalau mereka ada di tempat yang sama. Entah bagaimana caranya, atau ini memang kebetulan, atau bencana.

Kafka melihatnya tersenyum saja, melihat keluarganya cipika-cipiki tapi enggak ada tuh yang menghampirinya?

Kafka tersadar dari lamunannya itu ketika Abangnya merangkulnya, lagi, dan lagi. Kemudian Kafka tersenyum, dan mengangguk pelan seakan isyarat perkataan 'aman, selow aja selow' gitu..

"Kapan sampe Bandung, Mas?" Basa-basi Danish pada Abang pertama dan kedua dari istrinya itu.

"Pagi tadi. Ini udah dua tempat dikunjungi. Ngeliat story kalian, dan ternyata nggak terlalu jauh, wess nyusul. Kebetulan bisa kumpul-kumpul." Kata si Abang pertama a.k.a Pandu, membuat Danish menganggukkan kepala.

"Iya lo, ini anak-anaknya Evan sama Pandu minta ikutan liburan di Bandung juga. Emang dasarnya mereka cuma tau Bandung."

"Alesan aja kali itu mah." Cibiran kecil dari Zafran itu membuat si Nenek merotasikan bola matanya sebal. Ini cucu nya satu ini juga ikutan nyebelin gak tau kenapa.

"Mbak. Nopo to, Hukma chat-chat jarang sekali dibalas." Itu Hukma. Adik satu-satunya Diana. Umurnya lima tahun di atas Zafran, belum lama juga dia lulus kuliah.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang