Terpuruk.. Mungkin itu gambaran yang ada pada remaja empat belas tahun ini. Satu masalah pergi, yang lain datang membawa kesedihan di hati. Kafka tidak tau bahwa efek ini akan berkelanjutan hingga begini.. Padahal, ekspektasinya hal ini baru akan terjadi mungkin ketika dua atau tiga kali pengobatan? Engga... Kafka salah besar.
"Udah begini aja..." ujarnya. Di malam ini, dirinya baru bangun dari lelapnya tidur, setelah tadi pagi menjalani kemoterapi pertamanya.
Kafka merasa.. lelahnya tak kunjung mereda meski dia sudah beristirahat lama. Dan ketika dirinya baru ingin menyegarkan dirinya untuk sekedar bersih-bersih, ganti baju, cuci muka, namun yang dilihatnya malah membuatnya semakin tak ada daya.
"Baru kemo pertama. Gimana selanjutnya.." monolognya. Menatap helain rambut yang terlepas dari kulit kepalanya. Ketika ia mengedar justru terdapat juga di daerah bantalnya. Sehebat ini kah efeknya?
Ingin menangis pun untuk apa.. Tidak bisa menggantikan penderitaannya. Rambutnya sudah tidak seperti biasanya, yang tertata rapih, lebat, dan tumbuh rata. Lambat laut semuanya direnggut dengan paksa. Bukan cuma rambutnya...
"Dek,
"Eh? Kenapa, dek?" Kafka menggeleng berbarengan dengan helaan nafasnya. Dia membuka kotak sampah yang tersedia dan membuang rambutnya di sana.
"Nak.. Maaf karna Kafka harus melewati situasi ini, ya." Kafka mengangguk saja. Ketika kini dirinya dipeluk sang Papa yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.
Berasa mati rasa. Kafka jadi bingung ini berekspresi apa. Hanya diam yang bisa ia lakukan dalam pelukan Papanya. Bisa dibilang, selama kurang dari empat hari ini justru dirinya lebih dekat dekat Papanya.. Dirinya yang serba salah jika terlalu dekat dengan Mama dan Abangnya, maka pelampiasannya adalah Papanya.
"Masih aman kok Pa, hehehe..." Semesta juga tau Kafka menutupi lukanya..
Ketika Papanya melepas pelukan, hal yang jarang ia lihat adalah air mata.. Kafka melihat air mata di sudut mata Papanya, meski Papanya berusaha menyembunyikan.. "Dek, Papa mohon, adek harus semangat. Adek inget nggak waktu itu minta sekolah formal lagi sama Papa? Papa bakal bolehin, asal adek bisa semangat, dan sembuh."
"Diusahakan, Pa." Ujarnya dengan sedikit cengiran. Dia tidak tau kedepannya akan seperti apa. Kuat atau tidak dirinya tergantung takdirnya juga, kan?
Helaan nafas terdengar, dari Danish yang menatap anaknya yang kini mengganti bajunya. Keluarganya kini terlihat berbeda, entah karna Ibu mertuanya atau perubahan bungsunya.
"Ayo ke bawah, dek. Masih mual nggak? Ada yang dirasain nggak? Kerasa sesek nggak?"
"Satu-satu apa, Pa. Aman.. Masih bisa ditahan.."
"Iya-iya yaudah. Sini, ayo,"
"Eh! Papa ih biasa aja!" Sewotnya. Tiba-tiba tangannya ditarik. Papanya ni kalo bertingkah suka gak kasih aba-aba.
"Ngapain sih, Mas? Jail banget ih!" Ketika sudah di ruang tengah Danish menggaruk tengkuk.. Padahal niat bercanda sedikit.. dikomen aja:)
Kafka tersenyum kecil.. ditatapnya dua orang di sana, Mama dan Abangnya. Kafka baru bertemu lagi setelah sore tadi, setelah perbincangannya dengan Abangnya, yang berujung dia mengutarakan kegundahannya.
"Rambutnya abis rontok.. Apa ini gak terlalu cepet, ya, Di? Baru di kemo yang pertama."
Diana memandang sendu anaknya yang menyandarkan diri di sofa di depannya, tidak ikut bergabung pada mereka.
"Itu tandanya kemo nya bekerja." Ujarnya, kemudian menghampiri Kafka yang matanya fokus pada tayangan di depan.
"Better, nak?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ABOUT RAKAFKA
Novela JuvenilTentang Rakafka. Remaja yang sibuk pada dunianya, dunia monotonnya. Si yang selalu mengerti apa yang orang mau, tapi susah untuk mewujudkan yang dia mau. Kafka yang berbeda, remaja yang tak biasa. Hidupnya indah, tapi banyak yang tak tau dengan diri...