26

965 64 11
                                    




"Adek.. Adek bangun dulu, sayang.." Diana membelainya, kemudian tersenyum kecil ketika mata itu terbuka.

"Sakit semua, Ma.." Diana mengangguk paham. Anaknya pasti begitu tersiksa.

"Iyaa.. Adek kuat, adek bisa!" Matanya berkaca, namun sebisa mungkin Diana tahan agar terkendali situasinya.

"Udah makan malem belum, Ma?" Ujar Diana pada mertuanya.

"Belum... Sebelum maghrib tadi udah Mama tawarin tapi katanya nggak mau.." Diana tersenyum, mengambil peralatan makan stainless itu.

"Makan sekarang, ya? Mama yang suapin." Kafka menggeleng.. Memeluk Mamanya dengan dirinya yang sudah duduk.

"Kafka mau makan apa? Mau makanan di rumah? Nanti dibawain. Atau mau beli? Gakpapa, yang penting adek makan." Kafka menghela nafas dan berfikir. Kemudian dirinya menggeleng. Sungguh dia tidak ingin merepotkan keluarganya lebih jauh hanya karna tentang makanan. Kafka sudah merasa banyak sekali beban yang dirasakan keluarganya padanya.

"Makan ini aja gakpapa kok, Ma.." mau tidak mau. Kafka tak mau mengecewakan. Meski rasanya dia mual sekali.

Susah payah Kafka menahan rasa ingin mengeluarkan makanan tak berasa ini. Susah payah Kafka tetap tersenyum di depannya ketika Mamanya menyuapinya.

Terkesan tiba-tiba? Tidak.. Kafka merasa mimpinya barusan di mana dia dihadapkan dengan situasi kematian cukup membuatnya sadar. Kafka tidak mau meninggalkan keluarganya setelah banyak merepotkan mereka. Kafka tidak mau meninggalkan banyak luka.

"Mual, ya, dek?" Kafka menggeleng. Tapi sungguh, dia mual sekali.

"Kayaknya udahan aja deh, Ma. Aku udah kenyang." Ujarnya ketika rasanya makanan tak berasa itu sudah memaksa ingin keluar.

Diana tersenyum, memberikan minum untuk anaknya sekalian dengan beberapa butir obat yang harus dikonsumsi. "Mau istirahat lagi? Sama Mama di sini." Menghela nafas saat Kafka menggeleng, akhirnya dia hanya memposisikan anaknya semifowler agar nyaman.

"Maafin Mama baru ke sini, ya.. Maafin kalo tadi Mama marah."

"Aman kok, Ma.. Wajar aja Mama marah." Ujarnya. Wajah pucat yang terpatri dari Kafka itu sungguh saat membuatnya ingin teriak sekarang juga.

"Di," Diana menoleh ke asal suara. Itu suaminya, yang tadi kesal memarahinya. Lantas dia menjawab.

"Kamu mau bilang apa tadi?" Danish menggeleng. Sudah basi:v

"Aku kayaknya malam ini tidur di rumah. Gakpapa? Bareng Mama juga. Kasian Ayah di rumah sendirian. Kebetulan besok aku harus keluar kota sebentar, siangnya udah balik lagi ke sini untuk sidang. Cukup padat, jadi aku harus berangkat lebih pagi."  Diana mengangguk sekilas, lalu menatap Ibu mertuanya.

"Aman, ya, Di? Nanti berkabar sama Mama kalau ada apa-apa."

"Aman, Ma. Lagian ada Zafran di sini. Mama istirahat aja di rumah, ya."

Kafka menatap Mamanya yang masih berdiri, dan Abangnya yang sudsh sibuk dengan ponselnya ketika Papa, dan Utinya pulang setelah berpamitan. "Mama berantem lagi sama Papa?" Tanyanya. Sedari Mamanya ada, dia tak melihat keduanya berinteraksi selain saat berpamitan.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang