14

822 60 7
                                    

Kafka menunduk dalam, tak berani mengangkat kepalanya setelah ia mengatakan permintaan agar kembali sekolah formal.

"Adek mikir gak sebelum bilang itu? Udah tau konsekuensinya? Apa aja nanti yang bakal dihadapin semisal Papa izinin?" Dalam tundukkan itu Kafka mulai meneteskan air matanya. Ia tau yang diucapkan Papanya itu.. tapi apakah salah menginginkan hidup seperti anak-anak yang lain.

"Mama gak izinin, sayang. Maaf, ya. Mama gak bisa ngelepas kamu lagi. Kejadian terakhir membekas buat Mama, nak. Mama gak bisa masukin kamu ke dalam bahaya." Diana mengelus pipi itu, menghapus air mata yang turun dari mata itu.

"Kafka denger Mamanya, ya? Ini semata-mata buat Kafka juga. Papa, Mama nggak mungkin larang-larang untuk hal yang enggak jelas. Kita cuma takut Kafka kenapa-napa, kayak yang kemarin-kemarin. Cukup, ya? Tahun ajaran baru nanti homeschooling di rumah."

"A-aku, cuma mau pun-nya kegiatan. Kayak Mama, Papa, Abang. R-rrasanya gak adil, cuma aku yang begini, cu-ma ak-u yang di rrumah tiap hari-

A-aakuu," Kafka sesenggukan, itu sebabnya dia tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perkataan. Memang betul, kan? Hidupnya tidak adil.

Diana menggeleng, air matanya menggenang dipelupuk. Ia mengerti itu, lambat laun rasa itu pasti ada, karna anaknya juga manusia biasa, kan? Tapi sumpah.. Diana tidak tau juga harus apa, dirinya ingin egois, karna menurutnya ini benar, karna Kafka berbeda.. Dia memperjuangkan hak Kafka untuk hidup saja hampir bertaruh nyawa, maka tidak akan Diana biarkan anaknya menghampiri bahaya yang lebih mengancam nyawa.

Dia ingin memeluk anaknya itu.. tapi seolah ditolak mentah, Kafka justru berontak, dan menghempaskan rengkuhan itu. Sungguh, Kafka tidak butuh itu sekarang, dia hanya ingin permintaannya dikabulkan.

"Kafka nggak sopan!" Itu Danish yang lontarkan, membuat Diana menggeleng. Suara agak meninggi itu tidak bisa dilontarkan pada situasi seperti ini.

"Gak gitu, Di. Dia nggak sopan, dia tau adab, kan. Kamu ini Mamanya, mana pernah ngajarin kayak gitu?" Danish merasa dirinya benar, anaknya perlu diajari kesopanan.

"Dek, kamu harus tau, udah sering Papa bilang, semua yang kita lakukan, yang kita larang juga untuk kamu. Udah sering Papa bilang, kamu beda dengan anak lain, maka, Papa banyak kasih kamu aturan, yang, ini itu. Dan seharusnya, kamu nurut, dan mengikuti apa yang Papa, Mama mau, demi kamu. Harusnya kamu sebisa mungkin legowo, menerima takdir kamu. Setiap kamu ingin berontak, coba inget Mama, Mama banyak berjuang buat kamu, banyak ngerelain hal penting dari hidupnya demi kamu. Atau setidaknya sebagai rasa terimakasih kamu karna dikasih kesempatan hidup, kamu-

"Aku gak minta hidup. Papa Mama yang mau aku hidup. Bahkan Nenek aja gak mau, kenapa harus aku yang nanggung ini?" Diana sudah mencengkram lengan Danish berusaha menjaga pria itu tidak meluapkan emosi, dan bertindak jauh. Dengan air matanya, Diana terus merasa sakit ditusuk jarum mendengar semua itu.

"Aku tau, aku sadar semua itu. Tapi aku salah mau ubah takdir? Tolong..." Kafka tercekat. Rasanya dia seperti sekor anjing yang memohon kepada tuannya diberi makan.

"Tolong untuk kali ini. Seenggaknya sampai aku lulus SMP, setelah itu aku nggak nuntut apa-apa lagi. Aku bisa bertanggung jawab untuk pilihan aku, Pa. Aku bisa penuhin semua syarat selama aku ada di sekolah nanti, aku bakal baik."

"Lagian,

Aku juga gak tau umur aku sampai situ apa enggak." Sudah. Cukup. Diana tak sanggup lagi mendengarkan, maka dia memaksa dengan pelukannya, mendekap erat anaknya.

"Maaf sayang.."

"Mama egois, maaf, maaf, maaf."

Sebagai janjinya, Zafran akan membantu adiknya untuk mendapatkan hak suara *aseekk.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang