03

1.5K 109 6
                                    

Rajin, kan, update nya, wkwk..

"Papa nggak izinin lagi buat kamu sekolah formal. Homeschooling lebih baik, dek."

"Nggak, nggak, nggak!"

"Papa jangan mulai, Pa." Matanya sudah memerah. Kafka jika berdebat dengan Papanya, selalunya ia kalah. Dan kini tiba-tiba Papanya membahas perihal sekolah. Padahal kini mereka berdua tengah menghabiskan waktu bersama, di ruang tamu. Danish hari ini libur, sementara istrinya, dan anak sulungnya masih dalam kegiatan seperti biasanya.

"Ini demi kamu. Papa nggak mau lagi kasih kamu izin ke sekolah itu. Bahkan kamu nggak ada teman di sana, Kaf. Mau ngapain? Nggak ada orang yang bissa ngebelain kamu, ngelindungin kamu,"

"Mau kamu ngapain juga mereka nggak peduli, kan? Buat apa bertahan, Kaf? Ngapain? Buang-buang energi kamu. Mending sekolah dari rumah, tenang, kamu nggak ada beban, kamu bisa bebas mengekspresikan diri kamu, tanpa harus diperlakukan nggak baik."

"Nggak bisa begitu juga, Pa. Aku mau kayak anak-anak lain. Masa bodo aku gak punya temen, nggak peduli aku mau digimanain juga di sana. Aku bisa lawan, aku bisa bales mereka. Aku nggak cupu kayak yang mereka bilang, Pa. Aku bisa jaga diri aku." Ada rasa sesak di hatinya hingga buliran air mata jatuh dari matanya.

"Kenapa malah nangis? Kenapa malah ngebantah Papa, Kaf? Nurut sama Papa. Ini buat kamu, ini buat kesehatan kamu, kesehatan mental kamu. Kamu beda Kaf, kamu beda. Dengan kamu tetap sekolah formal gini jadi buat Mama, Papa, Abang nggak tenang. Jangan kayak anak kecil gitu, Kaf, Papa nggak suka."

"Kamunya jangan egois. Dengan kamu begini, kamu nggak mikirin gimana stres nya Mama, Papa, Kaf. Jangan maunya apapun dituruti, dek. Pikirin ke--"

"Iya aku salah." Kafka mengintrupsi tiba-tiba.

"Iya aku egois. Iya aku lemah. Iya aku bisanya cuma nyusahin. Apa lagi, Pa? Apalagi?--

--Aku anak nggak berguna? Aku nggak bisa apa-apa. Bisanya cuma sakit, bisa nya cuma ngabisin duit Papa."

"Pa? Kenapa sih pertahanin aku? Kenapa dulu nggak bunuh aja akunya?! Kenapa dulu nggak gururin aja ak--

"Kafka.."

"Ngomong apa kamu?! Ngomong apa?!" Kafka meraung. Ketika melihat Mamanya yang baru pulang, dan menubruknya, memeluknya kencang.

Diana apalagi. Sakit sekali hatinya mendengar itu. Dia mempertahankan janinnya sedemikian rupa saat itu. Hampir kehilangan janinnya, hingga membuatnya was-was berkepanjangan.

Anaknya berbicara menyakitkan seperti ini. Dan Diana tak menerimanya.
"Kenapa, Ma. Kenapa.."

"Aku mending nggak hidup. Aku mending nggak di sini." Kafka memberontak dalam pelukan. Raungannya masih terdengar jelas hingga membuat smart watchnya berbunyi keras.

"Kafka diem! Kafka! Kafka jangan gini." Itu Danish. Dia panik sejadi-jadinya. Dia tidak berfikir akan seperti ini akhirnya.

Kafka merosot. Meremat dadanya, dan mulutnya yang terbuka mencoba mengambil udara sebanyak-banyaknya.
"Adek. Adek tenang!" Diana tersadar dari tangis panjangnya. Kemudian langkahnya ia bawa lari kencang. Memasuki kamar bungsunya dan berlari lagi dengan oxygen portabel ditangannya.

"Sama Mama, sama Mama." Diana memposisikan Kafka setengah berbaring di pangkuannya, kemudian mendekatkan oxyen portabel itu untuk mempermudah jalan nafasnya.

Diana menangis tak bersuara, sembari tangannya memegang kendali oxygen portabel yang masih digunakan anaknya.

Sementara Danish masih mengintruksikan pada Kafka untuk tetap tenang, agar sesaknya tak berkepanjangan.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang