20

845 67 7
                                    

Kafka berbangga hati.. sedikit.. Ketika dirinya berhasil keluar dari tempat menyebalkan itu. Setelah melewati berbagai pemeriksaan, Kafka pulang. Agak maksa sih, Kafka terus memaksa orang-orang. Kalau alasan tetap di rumah sakit karna kesehatannya menurun? Ya memang, faktanya memang kesehatannya yang direnggut, kan? Kafka tak terima, kalau saja dia malah selamanya menjadi penghuni itu, tempat itu..

Sampai rumah, Kafka mikir, keputusannya ini bener apa enggak. Niat hidup tenang sembari menerima keadaan, malah lagi-lagi ketemu orang yang buat hidupnya gak tenang... Kafka tebak.. Pasti datang ke sini karna kabar sakitnya dia, setelah terakhir mengirim pesan tidak menyenangkan kepadanya. Pesan yang bukannya menyemangatinya, malah memperburuk suasana. Katanya.. 'Malah semakin menjadi beban' Siap salah, kata Kafka mah.. Mau jadi beban aja enggak, kan:)

"Stadium satu, Bu."

"Ibu nggak perlu ikut-ikut tentang Kafka. Aku bisa sendiri, ada suamiku juga yang bantu. Kafka insyaAllah sembuh. Ibu nggak perlu ngusik-ngusik anakku, dan ikut campur, apalagi mengganggu psikisnya. Anakku belum bisa nerima ini, Bu. Dia murung, dia nangis terus ke aku. Aku gak mau ada yang bicara sembarangan ke dia, dan buat dia tertekan.. Buat ngehadapin ini aja, aku sebagai Ibunya stres berat, Bu, apalagi anakku,"

"Jadi aku mohon ya, Bu. Seenggaknya, di moment ini tolong untuk jaga ucapan Ibu." Susah payah Diana memberitau, namun tanggapannya hanya... deheman, dan decihan dari mulut sang Ibu. Aslii.. bukan mau durhaka, tapi momentnya nggak pas banget buat Kafka. Bukan mau menjauh, tapi Diana ingin Ibunya tidak ke sini dulu sampai situasi reda.

"Bu." Baik Diana maupun Dewi, atau Hukma sama-sama menoleh pada yang baru datang, dan ikut bergabung dengan mereka.

"Aku gak bermaksud kurang ajar sama Ibu. Tapi karna aku kepala keluarga di sini, kali ini aku mau bilang ke Ibu. Bu, aku izinin Ibu di sini, kalo alasan Ibu mau temenin Hukma. Tapi Ibu harus kasih timbal balik ke aku, untuk nggak ganggu Kafka, ya, Bu. Aku cuma minta itu sama Ibu. Bu, aku cuma gak mau situasinya lebih buruk. Kita lagi fokus untuk penyembuhan Kafka. Kali ini aja baru ditahap selesai pemeriksaan. Minggu depan dia baru mulai pengobatan. Bakal ada banyak hal yang kita lalui, Bu."

"Kalo Ibu gak mau setuju sama yang aku bilang. Dengan berat hati, aku bakal anterin Ibu pulang. Maaf, ya, Bu, bukannya aku gak sopan, tapi rasanya aku harus melakukan ini."

Kicep itu mertuanya. Nggak bisa berkata apa-apa lagi. Sebenernya jengah juga Danish. Bulak balik ke rumahnya mulu. Rumah tangga kan butuh privasi juga, ya? Meski dari orang terdekat sekalipun?

"Maa.." suara familiar itu membuat Diana yang tadi menatap keterdiaman Ibunya langsung menoleh, menatap Kafka yang menghampirinya.

"Iya sayang.. Kenapa? Adek butuh sesuatu? Istirahat aja, nak. Biar lebih ada tenaga. Masih anget juga ini, adek."

"Bosen di kamar." Diana menghela nafas, memasukkan Kafka ke dalam pelukannya, menciumi wajah anaknya yang rautnya tengah pucat-pucatnya. Diana sedih banget, Kafka jadi sangat beda dari sebelum-sebelumnya.

"Gakpapa, ya, sayang.. Sementara kamarnya pindah dulu. Buat kebaikan Kafka juga, kan.. Kalo mau, nanti Mama datengin orang buat ubah kamarnya sesuai yang adek mau."

"Mama ambil keputusan ini buat meminimalisir kejadian buruk, nak.. Terlalu beresiko buat kamu saat ini kalo harus naik turun tangga. Nanti amit-amit kalo jatuh, bakal lebih rentan. Bukan semata-mata karna kamarnya lebih deket ke kamar Mama, enggak.."

Iya, Kafka ngerti. Cuma males aja, jadi lebih deket aksesnya sama Hukma, dan.. sekarang ditambah Neneknya.

"Apa mau se kamar sama Mama Papa aja dek? Hahahhaha.."

"Ih, Mas! Kamu mau aku cubit?!" Idih, serem amat Diana ini. Danish meringis aja, sekilas melihat senyum Kafka yang terukir meski dikit bet, pelit pula..

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang