29

597 51 1
                                    

Malam ini sepertinya akan jadi malam yang panjang, malam di mana akan menjadikan banyak kebahagiaan. Kafka mensyukuri itu. Jika dia tidak nekat keluar rumah sakit maka mungkin malam ini ia hanya berdiam, bersandar di bed rumah sakit.

Lantas, dengan sisa tenaga yang ia usahakan tetap baik-baik saja, walau rasanya bergerak sedikit tubuhnya bagai dihantam ribuan jarum yang menerpa, Kafka akan mencobanya, mencoba untuk baik-baik saja, mencoba untuk setidaknya melupakan hal yang ada dalam tubuhnya. Kafka tak mau menjadi orang yang rasanya.. hanya dia yang selalu menjadi peran utama, tanpa memperdulikan orang lain yang ingin meraih kebahagiaan mereka.

"Ma, mau bantuin ih!"

"Eh, enggak, udah duduk! Adek, Mama gamau dibantah, ya!" Kafka mendengus. Dari saat memutuskan untuk kembali ke rumah, Mamanya betul-betul tak mengizinkannya melakukan apapun. Kafka jengkel, membantah sedikit, maka ocehan tak akan berhenti ia dengar.

"Aku gakpapa kali. Masih nafas, masih hidup.." Kafka menyengir, ketika mendapatkan tatapan maut Mamanya. Lantas dia menggaruk tengkuk, dan berlalu dari sana karna melihat Mamanya yang masih seperti itu juga.

"Eh.. Bete gak sih? Semua gak boleh.. Semua sibuk banget gue liat-liat. Gue ngikut lu jadi ikan aja boleh gak?" Prustasi seorang Kafka. Melipir ke area kolam ikan, berjongkok, dan memandang ikan-ikan di sana.

Satu menit, lima menit.. Matanya hanya memandang itu saja, duduk dipinggir kolam sembari meratapi nasibnya..

"Kafka, ngapain?"  Kafka menoleh atas panggilan, dan pertanyaan itu. Papanya ternyata.

"Gak ngapa-ngapain sih, Pa. Gak ada kerjaan," ujarnya, melemparkan batu ke dalam kolam.

"Gak mau gabung sama temen-temen di depan? Masih ramai loh.. Padahal udah selesai lombanya," kata Danish. Kafka mendengus. Pulang dari rumah sakit aja panik banget lihat kerumunan, apalagi kalau harus nimbrung.

"Gak.. Malu. Mending sendiri." Jiwa introvertnya meronta-ronta. Lebih baik dia ngorol sama ikan aja:v

Danish menghela nafas, merapihkan sedikit rambut anaknya yang terhempas angin malam. "Dek, tuh, Mbak Sari lagi potong-potong bahan makanan buat nanti.. Sana ikut nimbrung. Daripada sendirian di sini." Kafka menangkap objek yang ditunjuk Papanya. Menunjukkan Mbak Sari, dan security rumahnya yang tengah mengobrol sembari mengerjakan tugasnya. Iya, hanyya segitu saja. Sebab setelah kepulangan Uti dan Yangkung rumah ini kembalii seperti biasanya. Hanya sepi yang ada.

Malam ini mereka akan membuat makan bersama anggota rumah. Tidak ada maksud apa, bukan untuk merayakan tujuh belas agustus juga, hanya.. kumpul biasa saja, melupakan sejenak ujian hidup dari masing-masing mereka.

"Oh iya juga. Yaudah.. Mending disitu aku. Abisnya, Mama ngeselin deh, Pa. Kenapa sih sekarang tuh sukanya marah-marah.. Salah terus aku." Danish terkekeh. Udah mah istrinya lagi sensian, anaknya juga ikut sensi sekarang. Benar-benar buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kan?

"Karna Mama khawatir.. Jadi dimaklumin aja. Kafkanya juga jangan bikin Mamanya tarik napas terus.. Mama lagi sensi." Kafka mendengus. Dia berbuat apa memangnya? Perasaan sikapnya baik-baik aja. Tubuhnya sedang tidak bisa diajak untuk bertingkah layaknya.. bocil kematian kalau kata Abangnya.

"Iya iya. Mamanya aja yang lebay." Kata Kafka, meninggalkan Papanya yang tertawa-tawa. Menatap tubuh yang semakin kurus itu berjalan dengan layunya. Danish tidak tau rasa sakit seperti apa yang tengah dialami bungsunya. Dalam matanya anak itu memang terlihat layu sekali, lemas, pucat, dan terlihat menahan nyeri yang terpatri dari raut wajah meski terlihat berusaha baik-baik saja.

"Kamu kuat, dek. Papa yakin.. Jangan sampai keyakinan Papa ini berubah, ya? Papa gak tau hidup seperti apa yang kita jalani nanti semisal kamu menyerah dengan semua ini."

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang