27

951 62 4
                                    

Seperti kupu-kupu di musim semi, harapan terbang tinggi, namun sayapnya terluka oleh kenyataan pahit yang menerpa. Dibalik jendela, dengan sisa hujan turun meninggalkan bulir air mirip dengan air mata yang turun dari wajahnya.

Kafka masih menatap senja yang cantik sehabis hujan. Padahal ruangannya ramai, tapi dirinya tak mau mengalihkan dari nikmat Tuhan yang ia tatap dengan harapan.

"Ya memang. Karna kan ini kanker. Selain karna ganas, gejalanya banyak, orang yang kemo juga biasanya gak tahan lama. Ujung-ujungnya gak ada hal lain selain mati. Diluaran banyak, kan contohnya, pernah liat di sosial media, dia tangguh banget lewatin kankernya, tau-tau ada berita dia meninggal." Itu mengalihkannya. Seberapa besar ia berupaya agar tidak ter distract dengan kedatangan Nenek, dan Tantenya namun ketika mendengar ini hatinya seperti dihantam batu yang menikamnya hingga tak berdaya.

Kafka dengan jiwa raga yang lemah tak berdaya itu harus menyaksikan bagaimana Mamanya berteriak memarahi Ibunya sendiri, Uti, dan Yangkung yang menenangkan Mamanya.

"Ibu kalo gak suka sama anak aku yaudah. Gausah ke sini, gausah yang namanya pencitraan bilangnya mau jenguk. Jenguk apa yang kayak gini? Jenguk apa yang malah ngata-ngatain anakku bakal mati? Gausah buang tenaga Ibu, pulang sekarang, Bu. Maaf aku gak terima kehadiran Ibu di sini."

"Kenapa kamu gak terima? Padahal itu fakta. Jangan karna anak ini kamu jadi kurang ajar, ya sama Ibu kamu sendiri."

"Kurang ajar gimana yang Ibu maksud? Dari dulu aku selalu manut sama Ibu. Salah aku ngebela anak aku sendiri? Kafka sakit, Bu. Harusnya sebagai Nenek yang baik Ibu bisa semangati dia seperti Utinya itu, bukan terus nyinyir gini. Sampai kapanpun aku gak bakal mengizinkan siapapun menghina anakku. Aku Ibunya, aku yang memang harus ada di sampingnya, bahkan aku rela resign dari profesi yang aku banggain itu demi dia."

"Kamu resign? Diana kamu resign? Gila kamu! Kenapa gak bicara dulu sama Ibu! Pikiranmu itu di mana sih?! Susah-susah, mahal-mahal kami ngebiayain kamu, sekarang giliran udah sukses kamu seenaknya resign? Karna anak ini? Anak gak berguna ini, Mbak? Kamu ini S2 loh, Mbak, kenapa pikiranmu gak sampe?"

"Kamu Kafka, puas?! Kamu lagi, kamu lagi. Selalu jadi biang onar. Selalu jadi alasan anak saya ini kualitasnya turun. Sekarang dia milih resign, karna mau urusi kamu? Hidupmu manfaat apa? Apa yang perlu diperjuangkan, Kafka?!" Diana menggeleng, menjauhkan tangan Ibunya yang ingin menyentuh anaknya.

"Ibu cukup!"

"Mending nyerah aja, Kaf. Gak ada rugi-ruginya keluarga ini." Diana dengan raungannya berteriak keras, sebagai pelampiasan kemarahannya.

"Tolong, tolong bawa Ibu, dan adik saya keluar dari ruangan ini." Perintahnya mutlak, setelah Ayah mertuanya itu keluar memanggil security rumah sakit.

Tak peduli apapun lagi, Diana memegang kedua lengan anaknya. Raungannya terdengar jelas hingga tak terdengar suara apapun di sana. Menatap pilu lengan yang terdapat beberapa lebam itu. Diana menggeleng, sakit hatinya melihat ini. Kafka begitu riskan, hingga diberi tekanan sedikit saja hasilnya seperti ini. Memar itu akibat Ibunya yang beberapa kali berhasil mencubit tangan anaknya. Bahkan infus yang menancap itu hampir lepas hingga menimbulkan darah yang begitu banyak.

"Maaf, maaf. Maafin Mama, adek.. Tangannya memar, maaf, nak.. Dek, Ma,—"

"Ma!"

"Diana, astaga!"

•••••

"Uti, Mama mana?" Uti menghela nafas. Sudah berkali-kali Kafka menanyakan itu.

"Adek istirahat dulu aja, ya? Nanti bangun-bangun udah ada Mama di sini." Kafka menggeleng. Terakhir kali, Mamanya itu tak sadarkan diri setelah meraung tak ada henti.

ABOUT RAKAFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang