Prolog
Malam sudah begitu larut. Suara burung kedasih membuat suasana di sekitar balai pelatihan Santa Carla semakin gelap. Semakin pekat. Memang aku tidak terlalu mengerti soal arti suara burung. Mungkin burung kedasih terdengar lebih peragu dari manyar, atau tak lebih tenang dari burung dara. Suaranya begitu lirih, seperti sedang menyimpan duka yang ingin dibagi. Yang tentu tak akan ada yang mengerti apalagi menolong.
Dari kejauhan aku bisa mendengar lantunan doa yang dilambung-lambungkan. Di antara suara binatang tuli, jangkrik, kodok, dan burung kedasih yang aku bicarakan tadi. Nyanyian itu terdiri dari satu refrain yang diulang, dilengkapi dengan empat bait pujian yang ditujukan sebagai rasa syukur kepada si pencipta malam. Syairnya ada empat baris, masing-masing dengan cresendo yang sama di bar akhir. Temponya 4/4 dan dinyanyikan dalam dua suara. Hanya karena semua yang telah terjadi beberapa hari lalu, maka hari ini aku tak harus ada di sana, menyanyikan lagu yang sama sejak kedatanganku ke sini.
Memang mustahil menceritakan kejadian itu dengan gamblang tanpa menguras tenaga dan ingatan. Semua hal menyenangkan terjadi begitu cepat, dan semua hal tidak mengenakkan akan berlangsung seperti sebuah adegan film yang sengaja dilambat-lambatkan. Agar dramatis. Cih.
Manusia seringkali lebih pandai merapalkan masa depan yang manis, sedang masa lalu, seperti pemandangan buram dan berbayang yang tertinggal di belakang. Kita susah melupakannya, karena kita ada di dalamnya. Sedang masa depan selalu penuh warna, kita dibebaskan untuk merencanakannya karena ketidakpastian itu. Yang tidak serumit itu. Senang rasanya terbebas dari masalalu 'kan? Tidak bagiku.
Katakan aku tinggal terlalu lama di sini. Dengan rutinitas yang biasa, seperti pada umumnya sebuah balai pelatihan bernama Santa Carla, yang indah sekali kedengarannya. Sekarang mari beranjak pada objek di dalamnya. Semua perempuan, dari semua distrik dan wilayah di kota Purasabha ini. Perempuan (kebanyakan remaja) dengan label nakal, tidak baik, berdosa, pendosa, tidak ramah, tidak dapat diatur, tidak tahu diuntung, tidak punya masa depan dan semua hal yang tak patut diucapkan dengan bahasa yang baku agar konteksnya menjadi lebih baik, semuanya berkumpul di sini. Bisakah dibayangkan?
Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhana seorang gadis yang—memperkosa gurunya sendiri. Meski kita tahu tidak ada yang perduli pada kekerasan yang terjadi terhadap laki-laki. Sejak dulu kita dicekoki paradigma bahwa kaum lelaki pasti merasa senang apabila mendapat pelecehan dari kaum perempuan. Seperti dalam cuplikan video porno di situs-situs dewasa.
Atau hal lain tentang, cerita seorang dokter yang jatuh cinta pada pasiennya sendiri, seorang masokis yang terobsesi pada hukuman jam malam, seorang eksibisionis yang senang mengumbar tubuh dan menjadi pusat perhatian sehingga dengan sengaja menujukan kembang api di perut seseorang. Maka, mereka akan diberi label sebagai kriminal di lingkungan rumahnya. Ketika penjara terlalu memalukan untuk nama baik keluarganya, maka mereka dipindahkan ke sini. Asrama Perempuan dan Balai Pelatihan Santa Carla.
Jika beruntung, siapa pun bisa dapat giliran sekamar dengan seorang perempuan dengan kecerdasan luar biasa, mampu menghitung setiap jengkal lubang kunci di setiap gedung ini, dan membongkarnya. Atau menonaktifkan sebuah alat pengukur detak jantung analog. Alat yang bisa menyuntikkan obat bius secara mekanik, apabila jantungmu berdegup di atas rata-rata. Orang itu bisa mencoba membujukmu untuk membantunya, dengan iming-iming kabur dari sini. Mendapatkan kehidupan layak, seperti orang normal di luaran sana.
Mungkin, kamu akan sekamar dengan seorang pecandu narkoba, memanfaatkanmu, lebih tepatnya mengancammu agar membantunya mendapatkan sekotak anti nyeri dari klinik balai pelatihan yang jika tidak, dapat memporak-porandakan kamarmu, juga membuatmu merasakan neraka sebelum waktunya jika sedang sakau. Atau mengancam bunuh diri, atau—ah apa pun, yang dengan pasti dapat mengguncang rasa simpatimu. Menjadikanmu sama seperti mereka, atau malah mengolok-olok kebaikan hatimu tanpa kamu sadari.
Yang jelas, tempat ini adalah saksi, dari semua perempuan yang tidak dididik dan diperlakukan secara adil di tempat asalnya. Atau orang tua yang demi 'kebaikan' keluarga lepas tangan, melenyapkan nama anak gadisnya dari masyarakat sekitar dengan ribuan alasan. Ya, kuliah di luar negeri, kerja di luar kota dan masih banyak lagi kalau cukup pandai mencari. Lalu, mereka akan bilang padamu, kami akan selalu datang menengok, kami akan menjemputmu jika kamu sudah siap. Lalu mereka akan melupakanmu dalam waktu 2 minggu.
Tapi, semua tidak sesederhana itu ternyata. Balai pelatihan ini bukanlah balai pelatihan biasa. Dan aku bukanlah satu-satunya orang yang terkejut saat tahu kebenaran apa yang disembunyikan di sini.
"Pst... Adriana. Adriana bangunlah!" Seseorang telah datang. Menempelkan mulutnya ke lubang kunci pintu kamarku.
Aku mendekati pintu, menempelkan telingaku tepat di lubang kunci sisi yang satunya. Jam pendeteksi detak jantung analog yang terjalin di pergelangan tangan kiriku menunjukkan kenaikan yang signifikan. Aku menahan nafas, khawatir efeknya akan membawaku pada masalah lain lagi setelah ini.
"Kamu di sana? Adriana!" suara itu semakin tak sabar.
"Ya, aku di sini," kataku. Masih sesekali menahan nafasku.
"Oke, dalam dua menit aku akan membuka pintu ini."
"Aku sudah siap," kataku yakin. Memberikan anggukan meski tak ada yang melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romance18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...