24

193 11 0
                                    

24

Seperti biasanya, suasana di sekitar koridor ruang klinik selalu sesenyap ini. Hanya ada suara langkah kami berdua, aku dan seorang petugas yang memanduku di depan. Juga dentuman jantungku sendiri. Mengumandangkan sensasi aneh antara antusias, atau cemas.

Sudah seminggu Karika tidak muncul, tidak ada di ruang klinik saat aku mencarinya. Hanya dengan ijin Ibu Margot, aku bisa bertemu dengannya. Sekarang makin jelaslah intuisiku mengenai keberadaannya. Karika, mungkin menghindariku.

Jadi, membikin onar pada saat latihan tidak sepenuhnya buruk. Aku bisa bertemu Karika, kalau ia masih hidup sekarang.

Dan Ibu Margot akan menjadikanku objek nomor 20 dengan segera. Apa itu berita baik? Apa itu akan membuatku bertemu dengan Karma? Atau Karika akan menceramahiku seperti yang biasa ia lakukan?

Sampai di depan pintu ruang klinik kami berhenti. Petugas yang mengantarku membukakan pintu.

"Masuklah duluan," katanya mempersilahkanku. Aku mengikuti arahannya, menjumpai sosok Karika. Perempuan itu duduk di kursinya, menyiram tangannya dengan cairan alkohol. Seolah ia selalu ada di sana, seolah ia tidak pernah beranjak dari sana.

"Ada yang bisa saya bantu?" Karika bertanya, tidak padaku. Ia bahkan tidak menoleh padaku sama sekali.

"Cedera ringan dan alat pengukur detak jantungnya tidak berfungsi," kata petugas.

"Biar saya cek, mohon tunggu di luar." Karika mengusir dengan sopan.

Tapi petugas ini tidak bergerak sama sekali.

"Kamu juga tidak enak badan?" tanya Karika lagi sambil berdiri dari kursinya, ia mengambil stetoskop dari kantong jasnya.

Petugas itu masih tidak bergerak. "Saya harus ada di dalam sini."

"Mengawasi saya?" tanya Karika Kini ia tidak bisa menahan rasa kesalnya. Ia mendekati petugas, mereka beradu pandang.

Petugas itu tidak takut pada Karika. Dokter ini bukan sebuah ancaman baginya.

Aku terbatuk, cari perhatian.

"Tolong sampaikan pada Ibu Margot, saya mau ambil bagian dalam percontohan biovitamin. Andaikan ada prosedur yang perlu saya tahu, mungkin sekarang?" kataku pada petugas.

Karika, rahangnya mengeras, tapi matanya tidak beralih dari wajah petugas balai. Alisnya pun tidak berkedut sama sekali. Ia terbiasa bersikap seolah tak ada apa-apa. Ia tidak menanggapi perkataanku. Ia berdiri seperti seonggok batu.

Petugas mengangguk, meminta ijin pada Karika untuk meninggalkan ruangan dengan segera. Membuatku bertanya-tanya, seseru apa eksperimen ini sehingga semua orang nampak senang dan bergairah saat aku menyetujuinya?

"Ternyata kamu bukan hanya gila, Adriana. Kamu juga bodoh rupanya." Hal pertama yang dikatakan Karika adalah kalimat penghinaan.

Setelah yakin petugas balai pelatihan meninggalkan ruangan, ia menggamit tangan kiriku dan menuntunku ke dekat meja. Lalu mengambil sebuah benda berbentuk jarum dari dalam lacinya.

"Ibu Margot baru saja menawariku. Dan aku akan setuju," jawabku ringan. "Memangnya apalagi yang bisa dilakukan oleh orang bodoh sepertiku?"

"Kamu tidak benar-benar menyetujuinya. Kamu melakukannya agar kamu bisa memuaskan rasa ingin tahumu. Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan. Kamu tidak berpikir sejauh itu. Kamu tidak mengerti, Adriana. Diandra tidak akan menerima ini dengan mudah." Ia membuka alat pengukur yang lama dan melemparnya ke dalam tong sampah.

Aku memijat pergelangan tanganku sebelum Karika memasang alat pengukur yang baru. Menguncinya di tangan kiriku.

"Aku sudah pernah membantumu dengan ini, sekarang aku tak bisa merusaknya lagi untukmu. Terimakasih kembali," kata Karika sambil mengembalikan jarum pengunci ke dalam laci mejanya.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang