4

585 17 0
                                    

4

2 Bulan lebih awal.

Sesuatu yang tak kukenali merangkak naik dalam tubuhku. Bagaimana hal yang tidak menyamankan dapat membuat seseorang begitu senang? Aku tidak bisa menerima tapi tak punya kuasa menolaknya. Perasaan ini selalu janggal buatku, meski sebagian diriku menikmatinya,

"Lebih kencang lagi," kataku.

Lelaki itu tersenyum, melakukan semua hal yang aku mau. Mengikat kedua lenganku dengan sebuah tali tambang halus yang mulai kusam warnannya. Ia menjejal mulutku dengan selembar handuk wajah agar aku berhenti memerintahnya.

Ia mendorongku dengan kasar, meludahiku, membuatku merasa malu dan kecil. Ia memisahkan kedua kakiku, mengikatnya di sudut yang berlawanan dan menambatkannya pada sebilah pancang. Sehingga pangkal pahaku terbuka lebar. Ia mencambuki tubuhku—keras sekali. Aku memekik, tapi suaraku hanya berupa lenguhan yang teredam. Aku ingin melawan, tapi aku ingat, dulu aku pernah menolaknya. Dan aku menyesal setelahnya. Jadi, sekarang aku akan membiarkan diriku menikmatinya.

Lelaki itu...

Pelan-pelan ingatan tentangnya naik ke permukaan.

Nafasku jadi tak beraturan. Aku sudah ingat semuanya. Aku buru-buru keluar dari kamarku. Aku berlari, mencari-cari di mana lelaki itu. Dapur, kamarnya, gudang, halaman belakang—tempat terakhir kali ia melakukan itu padaku.

"Kamu," kataku sambil menunjuk padanya.

Lelaki itu sedang asik menghaluskan permukaan cat mobilnya dengan kertas amplas ketika aku datang dan berteriak padanya. Ia menoleh dengan acuh tak acuh.

"Kamu kakakku! Kamu memanfaatkanku!" Aku menuding, kalau tidak menahan diri aku pasti sudah menendang wajahnya.

"Kamu bilang, kamu menyukainya." Kakak lelakiku tersenyum. Ia menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu-debu dari cat mobil lalu mendekatiku.

Seketika aku menunduk, merasa diintimidasi. "Tidakkah kamu kasihan padaku?"

"Aku kasihan padamu," nadanya ia sedih-sedihkan. Lalu perubahannya begitu cepat. Ia menarik tanganku, melontarkan tubuhku ke badan mobil.

Aku gemetaran sementara ia membelai kepalaku. "Adriana, kamu sedang bicara soal apa?"

"Kamu membawaku ke halaman belakang," kataku

Ia menggeleng, "Kamu, kamu mengajakku ke halaman belakang."

"Tapi aku mabuk, dan kamu bisa menolakku!"

Kakakku menggeleng lagi. "Kamu memaksaku. Dan aku laki-laki."

"Kamu mengikatku."

"Ingat-ingat lagi, benarkah semua itu terjadi seperti mauku?" tanyanya sambil menyalakan rokok.

Aku terlalu malu untuk mengakui pada siapa pun, kalau selama ini episode demi episode terjadi saat aku terlalu mabuk, aku merayu—sialnya aku jarang memilih siapa yang pantas untuk melakukannya denganku. Semuanya terjadi, begitu saja.

Tapi mungkinkah seorang masokis merasa cemas?

Sementara tetangga mulai mengadu, satu persatu. Ada yang pernah melihatku mempermalukan diri di pesta si A. Lalu tergeletak di halaman si B. Hingga ayah ibuku merasa tak punya kesarabaran lagi untuk menyembunyikan rasa malu terhadapku, mereka membawaku ke balai pelatihan santa Carla. Keluargaku, tidak terlihat seperti punya solusi yang lebih baik.

Aku tersadar di bawah jendela dengan pinggang yang sakit karena duduk terlalu lama. Yang kulihat pertama kali adalah si perempuan bermata flip flop, sedang berjongkok di depanku. Sambil mengigiti kuku jarinya.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang