1

1.5K 23 2
                                    

1

Berbelok ke sebuah jalan kecil berkerikil, di sekitar kami hanya hutan jati dengan pagar hidup yang dibentuk dari batang-batang pohon kelor yang mulai tumbuh dan berdaun. Setelah kejadian itu, mereka, ibu dan ayahku serta kakak laki-lakiku bersepakat untuk memindahkanku ke sebuah asrama perempuan.

Aku belum pernah mendengar nama Balai Pelatihan Perempuan Santa Carla. Aku juga tak mengenal wilayah ini sama sekali. Jaraknya 134km dari tempat tinggal kami. Atau butuh paling tidak 3 jam untuk sampai ke sini.

Mereka pikir aku bisa menjadi anak perempuan yang mereka harapkan kalau aku pindah ke sini. Entah yang mana. Sebab berharap itu boleh tentang apa saja. Dan, hal baik itu lebih relatif dari membandingkan rasa makanan di restoran A atau B.

Sudah jelas ini bukannya soal pendidikan bagus yang ditawarkan balai pelatihan tersebut. Ini tidak lebih dari sebuah hukuman untukku. Aku yakin. Mereka hanya ingin segera menyingkirkanku dari rumah.

Tinggal hitungan detik, mobil kami memasuki sebuah gerbang besi setinggi 3 meter. Papan nama kayu berwarna biru muda yang mulai usang menuliskan nama balai pelatihan ini besar-besar dengan semua huruf kapital. BALAI PELATIHAN PEREMPUAN SANTA CARLA - PURASABHA.

Sadar soal itu, kakakku sudah tidak terdengar lagi suaranya. Ia duduk di bangku depan. Kepalanya serong ke kiri, matanya ditutup rapat-rapat. Tangannya disimpul di depan dada. Pura-pura tidur, agar tak perlu lagi banyak bicara. Terus terang aku sudah muak dengan sikapnya yang seolah jadi yang 'paling teraniaya' di sini.

"Tenang Adriana, hanya 3 bulan, kami akan datang setiap minggu," kata ibuku sambil menggosokkan telapak tangannya di bahuku. Menenangkanku. Atau hanya berusaha mengusirku dengan cara yang paling keibuan yang ia bisa.

"3 bulan dan kami akan menjemputmu. Bersikaplah yang baik, ikuti semua yang mereka anjurkan padamu. Kami selalu berharap semua hal berjalan dengan baik." Ayah bicara sambil menurunkan koper besar yang terlihat seperti lemari bajuku yang didesakkan ke dalam sana. Sudah kubilang ini hanyalah sebuah pengusiran terselubung.

Sambil memasukkan tangan ke dalam kantong belakang celana, aku memandangi gedung tinggi di depan kami. Atapnya berbentuk segitiga sama kaki. Temboknya terbuat dari tumpukan bata yang di cat berwarna putih dan coklat tua. Di antaranya jajaran jendela kaca tinggi dan permanen berbaris. Mirip bangunan gaya eropa yang kaku, tua, penuh ornamen keagamaan.

Dari tengah-tengah lubang pintu, seorang perempuan muncul. Tubuhnya tinggi dan berisi. Kedua tangannya saling terpaut di depan perut. Bajunya berwarna hitam, berlengan panjang dengan model yang sama membosankannya dengan bangunan itu. Sebagian rambutnya yang coklat tertutup uban, digelung dengan rapi.

Sambil mengayun sepatu kulit bertumit tebal ia mendekati kami dengan senyum yang lebar. Sehingga aku dapat menghitung berapa banyak gigi yang telah tanggal dan diganti dengan gigi palsu berwarna perak.

Yang pertama selalu soal kabar, percakapan ibuku dan perempuan itu dimulai tanpa ajakan masuk ke dalam gedung. Aku iseng menoleh ke belakang. Melihat wajah kakak lelakiku yang kini duduk dengan tenang seperti tak pernah tertidur sama sekali. Ia memandangku dengan tatapan mata mengejek. Bibirnya menyunggingkan senyum.

Sejak kejadian itu kami memang tak pernah sama lagi. Paling tidak aku jadi tahu siapa dia yang sebenarnya. Dan apa pun yang kami lakukan itu, adalah salahku.

"Adriana." Ibuku memanggil. Di saat yang sama kulihat kakakku bergegas menutup mata dan pura-pura tidur kembali.

Aku memandang kedua perempuan itu. "Saya," jawabku pelan.

"Ini Ibu Margot. Ibu asrama di sini, sekaligus penanggung jawab balai pelatihan Santa Carla." Ibuku memperkenalkan.

Perempuan bernama Margot mengulurkan tangan kiri dengan cincin bermata bulat ke arahku. Aku menoleh pada ibuku. Ia memberiku isyarat untuk mencium tangan perempuan tua itu. Kulakukan dengan terpaksa.

Setelah itu, Ibu Margot menarik tangannya. Kemudian ia menggamit sebuah benda berbentuk pipih panjang, lebih mirip dengan jam tangan dari dalam saku jubahnya dan memberikannya padaku.

Aku memandangi benda itu dengan kepala penuh pertanyaan. Souvenir?

"Ini alat ukur detak jantung. Fungsinya tidak lebih dari alat ukur kesehatan, masih dalam tahap pengembangan. Sekarang hanya ada dalam teknologi analog. Tapi cukup baik untuk mendeteksi," katanya sambil mengulurkan tangan, memakaikan jam tersebut ke tangan kiriku. Aku mengamati alat tersebut dengan teliti.

Memang seperti yang ia katakan. Di bawah layar kaca, aku dapat melihat beberapa angka disusun membentuk ¾ lingkaran. Sebuah jarum kecil diletakkan di tengah-tengah. Beberapa kali bergerak ke angka 70 dan 80. Aku baru tahu kalau benda macam ini ada. Dalam hematku, benda ini lebih mirip regulator gas elpiji. Aku tahu, kalau aku tertawa sekarang, itu bukanlah sikap yang sopan.

"Apa yang terjadi kalau saya tidak menggunakannya?" tanyaku tiba-tiba. Ibu Margot memincingkan matanya. Aku mengira ia akan marah.

Tapi segera, ia menguasai diri. "Tidak ada, selain sebuah prosedur. Tapi, kamu hanya bisa melepaskannya saat keluar dari sini. Nanti, saat keluargamu menjemput," kata Ibu Margot. Nada suaranya terlalu misterius untuk bisa kupercaya.

Diam-diam aku berusaha melepaskan jam tersebut di belakang badanku. Tapi, tidak bisa. Jam tersebut seperti sebuah borgol dengan kunci kecil yang khusus. Akan mustahil membukanya tanpa menghancurkannya. Apa yang akan terjadi kalau aku menghancurkannya?

Sesaat setelah percakapan itu, keluargaku pamit. Segera aku tahu bahwa tidak ada keluarga yang diperkenankan memasuki area gedung bahkan lobi di hari pertama penitipan. Alasan retoris lagi, pihak balai pelatihan tidak ingin anak yang dititipkan menjadi lebih sedih. Dan tidak ingin keluarga semakin berat hati meninggalkan putrinya di sini.

Lagi pula pihak balai tidak mengijinkan lelaki masuk ke dalam wilayah dalam balai pelatihan. Semua orang yang tinggal di sini hanya perempuan. Pengecualian untuk juru kebun dan kelistrikan. Mungkin pekerjaan yang dianggap berat hanya dibebankan untuk lelaki saja. Kini gedung ini lebih mirip biara dibandingkan dengan balai pelatihan atau balai rehabilitasi, atau balai apa pun tadi namanya.

Aku berdiri di ambang pintu sambil melihat kepergian keluargaku. Dan baru berbalik ketika mobil ayahku menghilang di balik hutan jati tersebut.

Kudengar Ibu Margot menghela nafas bersamaan denganku. "Sekarang, kita harus melakukan tur singkat." Tanpa terlalu berusaha Ibu Margot mengambil koperku dan melemparnya ke sebuah kotak bertuliskan lost and found di lobi.

"Maaf, itu barang-barang saya," kataku tak terima. Kemudian berusaha menarik kembali benda itu.

Ibu Margot menangkap bahuku, mencengkramnya erat. "Kami menyediakan semua yang kamu butuhkan di sini. Jangan khawatir. Kamu akan memulai kehidupan yang baru di sini. Kamu tidak memerlukan sampah itu lagi," katanya tenang.

Tidak bermaksud membikin ulah di hari pertama, aku mengikutinya tanpa bilang apa-apa. Kami berjalan di tengah lorong bernuansa redup untuk beberapa saat. Sampai di sebuah pintu besar kayu yang nampak kokoh, kami berhenti.

"Nah!" Ibu Margot menghadapiku. "Sudah siap?"



7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang