33

223 11 0
                                        

33

"Pst.. Adriana. Adriana bangunlah!" Seseorang telah datang. Menempelkan mulutnya ke lubang kunci pintu kamarku.

Aku mendekati pintu, menempelkan telingaku tepat di lubang kunci sisi yang satunya. Jam pendeteksi detak jantung analog yang terjalin di pergelangan tangan kiriku menunjukkan kenaikan yang signifikan. Aku menahan nafas, khawatir jika dengungnya akan membawaku pada masalah lain lagi setelah ini.

"Kamu di sana? Adriana!" suara itu semakin tak sabar.

"Ya, aku di sini," kataku. Masih sesekali menahan nafasku.

"Oke, dalam dua menit aku akan membuka pintu ini."

"Aku sudah siap," kataku yakin. Memberikan anggukan meski tak ada yang melihatnya.

.

.

6 Hari Sebelumnya

Seseorang haruslah membantu kami keluar dari sini. Sebab tubuh Karma mulai mengejang. Dari mulutnya sesuatu berwarna putih dan berlendir... mengalir keluar.

Tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru dari luar pintu. Aku menyongsong ke belakang pintu, ingin cepat-cepat melapor tentang keadaan Karma.

"Oh, kamu yang datang, syukurlah," kataku lega ketika sosok Karika masuk lebih dahulu.

Sialnya, Ia datang bersama dua petugas lainnya yang dengan sigap mengangkat tubuh Karma keluar kamar setelah Karika menyuntikkan sesuatu ke pembuluh venanya.

"Dokter Karika, tunggu." Aku membuatnya berhenti. Ia menatapku, menguasai dirinya dengan cepat agar tak membuat petugas balai pelatihan curiga.

"Ada yang bisa saya bantu?" katanya dingin.

"Akan dibawa kemana dia?" tanyaku.

Karika tidak menjawab. Cepat-cepat ia berjalan keluar dari kamar.

"Bisakah kita berdua bicara?" kataku.

Karika menggeleng. Ia menoleh ke arah tempatku tidur, lalu meninggalkanku sendiri.

Setelah mereka mengunci pintuku, aku cepat-cepat menyongsong dipan besi itu, menghamburkan segala hal yang ada di atasnya.

Aku menemukan sepepel obat pencahar berisi 4 butir tablet seukuran biji kacang hijau yang bertuliskan 1x. Di dekatnya selembar kecil kertas berwarna coklat muda dan usang bertuliskan '4 hari dari sekarang'.

Rencana kali ini, aku memang tidak diberitahu pasti. Namun, aku harus meyakinkan diriku untuk percaya sepenuhnya pada Karika. Sudah cukup aku mengacaukan semua rencana sejak awal.

Ia sudah membawa Karma pergi. Diandra sudah tidak ada. Kalau aku tak cukup kooperatif kali ini, maka aku akan dibiarkan sendiri di sini. Dan aku tidak mau itu terjadi.

Tapi, Karika. Apa pun yang ia lakukan di sini sekarang. Kalau memang niatnya baik, atau bahkan buruk, sebenarnya ia sudah tidak lagi memiliki alasan untuk itu. Yovanes sudah tidak ada. Mati. Meski Karika belum mengetahuinya, mungkin.

Karika sudah tak punya alasan untuk ada di sini. Meski sebenarnya ia mengasihi ibunya. Tapi sebenarnya Karikalah orang yang paling kehilangan. Tega atau tidak, saat Karika tahu kalau Yovanes sudah mati, ia akan menuntut balas. Karika manusia biasa. Dan bukankah selalu begitu sifat manusia? Menuntut keadilan. Tidak puas jika darah tidak ditukar dengan darah.

Aku meminum 4 butir obat itu sekaligus dan menunggu. Beberapa jam berkutat dengan mimpi buruk dan udara yang lembab, aku terbangun saat matahari sudah menyerong ke arah barat. Cahayanya yang kemerahan menyusup lewat jendela. Aku merasakan sakit luar biasa di perutku.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang