16

265 10 0
                                        

16

Kesadaranku pelan-pelan muncul ke permukaan ketika gendang telingaku dipenuhi oleh suara 'srek-srek' langkah kaki anggota balai pelatihan yang tinggal satu lorong dengan Karma. Semua orang sibuk seperti pagi yang lain. Mereka lalu lalang. Bersiap latihan pagi atau sarapan.

Sementara aku masih meringkuk di pinggiran seperti anjing yang kedinginan.

Beberapa perempuan berjingkat. Mereka berjalan di pinggiran lorong yang lain agar tak sampai membangunkanku, atau menendangku. Yang lain tidak kelihatan terlalu perduli. Mereka berjalan melangkahiku, seolah aku ini bangkai yang bisa ditemui di mana saja di tempat ini.

Aku tidak perlu meyakinkan atau menghibur diriku lagi. Pasti Karma tidak membuka pintu sama sekali sejak semalam. Dia tidak cukup perduli untuk mengecek keadaanku di luar sini. Ia terlalu egois untuk itu. Ia hanya perduli pada dirinya sendiri.

Ia terlalu asik jadi pusat perhatian. Pasti—tidak sedetik pun ia akan mengira bahwa aku menungguinya semalaman di luar sini. Atau, sebenarnya dia sangat yakin kalau aku menungguinya semalaman di sini dan sengaja bersikap seolah primadona.

Kalau bukan Diandra... Aku pasti sudah... Ah!

Sambil merenggangkan tubuh yang pegal, aku bangun dari lantai. Duduk, dan dalam hitungan ketiga berdiri tepat di depan pintu kamar itu. Meski Karma menyebalkan, tapi aku harus memastikan keadaannya sekali lagi demi Diandra. Dialah orang yang kupandang sekarang. Aku akan berusaha mengabaikan Karma kali ini. Dia tak akan bisa memancing emosiku.

Tapi, sepertinya niat baik bukan hal yang layak diperlihara di Balai Pelatihan Santa Carla.

***

"Adriana! Dengarkan aku dulu!" Diandra mengejarku sepanjang lorong. Lengkap dengan lensa mata bohongan dan tas ransel gemuk, yang kutebak, penuh dengan uang.

Di satu sisi, aku senang ia tiba dengan utuh. Kulitnya masih mulus meski matanya berkantong dan wajahnya pucat karena kurang tidur. Di antara semua senior penghuni balai pelatihan, Diandra adalah orang yang paling mulus kulitnya. Ia tidak memiliki bekas luka. Aku tidak pernah melihat dia telanjang, sih. Tapi, aku sekamar dengannya. Aku pernah lihat nyaris semuanya.

Aku tak habis pikir bagaimana ia bisa bertahan dalam pertarungan tanpa luka sama sekali. Aku membayangkan apa orang sepertinya pernah terlibat masalah dengan anggota di sini. Seperti aku dan Karma misalnya? Apa dia pernah menyukai orang lain? Atau...

Sudahlah.

Yang terpenting ia tidak terluka, tidak sekarat, tidak terbunuh. Aku turut senang.

Tapi perihal kenapa aku menghindarinya sekarang. Adalah hal lain. Apa yang aku lihat barusan, susah kujelaskan. Rasanya campur aduk antara kecewa, marah, atau tidak terima.

Aku tidak ingin membahasnya sekarang. Aku butuh waktu. Untuk menenangkan diri. Meski aku tidak bisa dikatakan normal, aku masih manusia. Aku masih bisa kaget. Merasa terpukul—dengan apa yang kulihat, semenit lalu. Harusnya aku tahu kalau mereka berdua, Diandra dan Karma menyimpan sesuatu dariku. Dan alasan Karma mengusirku semalam, jadi semakin jelas.

"Aku baik-baik saja Diandra. Aku mengerti semuanya. Aku hanya bermaksud pamit tadi. Sekarang biarkan aku mandi karena aku akan latihan pagi."

Cepat-cepat aku menuruni tangga, menerobos lorong dan masuk ke dalam kamar. Diandra masih mengikuti di belakang. Ia menutup pintu, melempar tas ranselnya dengan sembarangan ke lantai. Mengejarku ke kamar mandi.

"Jangan ke sini! Aku sedang telanjang..." kataku sambil membuka baju. Aku buka keran air, secepatnya menyiram tubuhku, dengan harapan Diandra akan berhenti mengejarku dan tidak menjadikan ini masalah besar.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang