2

868 18 0
                                    

2

Ibu Margot mendorong pintu besar itu dengan kedua tangannya. Sedikit demi sedikit celah pintu melebar. Sebuah lorong berlangit-langit tinggi dengan bias cahaya remang bertengger seolah baru saja disulap untuk ada di sana. Berbeda dengan tampak luar bangunan, tidak ada jendela sama sekali di sini. Hanya beberapa lampu yang menyerupai obor digantung simetris di sisi kanan dan kiri. Aku menghirup nafas dalam-dalam, bersiap untuk menghadapi kemungkinan yang terburuk yang bisa terjadi di sini.

Kami berdua berjalan beriringan tanpa banyak bicara. Hanya suara sepatu bertumit tebal milik Ibu Margot yang ketukannya bergema dalam ruang. Sementara langkah kakiku terkesan sayup dan gugup.

Pelan-pelan sinar putih mulai nampak, seolah menyongsong kedatangan kami. Lorong itu berakhir di sebuah persimpangan tiga. Sebuah jendela berukuran semeter lengkap dengan terali besi menghadangku di seberang. Dengan lancang aku mendekati jendela yang tebal dan buram itu. Menengok sebuah halaman luas yang terpapar di belakang kaca. Rumput berwarna hijau muda, kursi kayu panjang. Meja bulat dan kursi di sekelilingnya. Tanaman bunga yang berwarna-warni. Ditanam rapi, dengan perhitungan klasifikasi warna dan jenis. Dan tentu, berpuluh perempuan ada di sana, beberapa duduk berkelompok, bermain kartu, beberapa hanya duduk sambil terbengong. Beberapa berjongkok, entah melakukan apa. Semua memakai pakaian yang sama.

Ibu Margot kemudian mengajakku berbelok ke sisi kiri persimpangan itu. Di mana pintu-pintu seukuran satu manusia berjajar.

Penuh rasa ingin tahu aku menengok ke dalam salah satu kamar yang pintunya kebetulan terbuka. Seorang perempuan yang usianya tak lebih tua dariku sedang berlutut di sisi ranjang. Sadar akan suara langkah Ibu Margot, ia menoleh. Tatapan matanya punya kesan liar, begitu menakutkan sehingga aku segera membuang pandanganku.

Di pintu berikutnya, ada seorang perempuan sedang memasang seprai di kamarnya. Di dekatnya, berdiri perempuan lain dengan baju yang model dan warnanya mirip dengan milik Ibu Margot.

Aku celingukan sepanjang tur singkat kami. Entah memikirkan apa, hingga kami sampai di ruang yang disebut sebagai ruang rekreasi, aku tak sadar kalau seorang perempuan sedang berdiri di depanku. Aku menabraknya.

"Maaf," kataku reflek.

Ia tak menjawab, hanya menunduk untuk memungut majalah yang terjatuh di lantai. Sempat ia melirikku. Mengancamku hanya dengan tatapan matanya. Kemudian beralih pada Ibu Margot, tersenyum sinis, kemudian ia kembali memandang padaku, ia menggigit bibir bawahnya. Matanya ia sipitkan. Rambutnya yang bergelombang melambai ke kanan dan kiri ketika ia melewati kami dan menghilang di belakang. Aku bahkan tak sempat mencium aromanya.

"Duduk." Ibu Margot menarikkan kursi dari sebuah meja di ruangan itu untukku. Aku berterimakasih, segera duduk dengan hati-hati. Memperkecil kemungkinan suara yang akan timbul akibat kursi yang berderit. Aku tak ingin menarik perhatian semua—siapa pun yang ada di sini. Tetap saja, beberapa orang sepertinya sudah memperhatikanku sejak tadi. Membuatku merasa gugup.

Setelah memastikan tubuhku menempel pada kursi itu, Ibu Margot pamit untuk meninggalkanku sebentar. Ia ingin aku menunggu di tengah ruang ini, selagi ia mempersiapkan kamar yang akan aku tinggali dan baju seragam. Dengan rasa takut yang mulai naik kepermukaan aku mengangguk, setelah itu memberanikan diri untuk memperhatikan sekitarku.

Di pojok ruangan sebuah televisi berukuran 24 inci dipasung setinggi 2,5 meter di tembok bercat putih. Lengkap dengan terali agar bisa menyokong lebih kuat, atau, mungkin faktor keamanan lain yang tidak terpikirkan olehku. Di sebelah bawah, seonggok lemari kayu hitam diisi tumpukan papan catur, kartu, Uno dan permainan lain disusun dengan rapi.

Di lemari yang lain mereka menaruh buku yang berjajar tak beraturan. Di susunan ketiga dari atas, beberapa buku tinggi berwarna merah berjajar dengan buku lain berwarna sama, 7 buah buku berukuran sedang dengan warna merah yang sama, di tengahnya seseorang telah menyelipkan buku dengan warna hijau yang jauh lebih pendek ukurannya. Tepat di tengah semua buku yang rapi itu.

Semakin lama aku memperhatikannya, semakin gemas aku. Tidak adakah yang terganggu dengan itu? Susunan buku tersebut telah rusak karena buku hijau sialan itu.

Aku menunggu, berharap seseorang akan membereskannya. Tapi tak ada yang perduli sepertinya. Aku mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jariku. Memang tidak punya nyali untuk bangun dari kursi ini. Sambil mengatur nafasku dan berusaha sabar. Seseorang harus segera memperbaiki susunan buku itu, atau aku akan melakukannya sendiri. Tapi aku tidak mau menarik perhatian, aku anak baru di sini. Aku tidak mau membuat masalah. Apa memperbaiki susunan buku akan menimbulkan masalah?

Ujung kakiku memantul-mantul di lantai.

Oke, akan aku rapikan buku itu.

Aku bangun dari tempat dudukku. Sebelum langkah yang pertama seseorang muncul, menghalangi tatapan mataku. Aku berusaha menghindarinya, aku harus membenarkan susunan warna buku itu.

"Hai, anak baru?" suaranya seperti dengung di telingaku.

Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan macam itu. Aku harus segera menyelamatkan buku-buku itu.

Tapi suara itu menggaung semakin keras di telingaku. "Hei!" dan "Hei" yang terus menerus. Kesabaranku habis. Aku berteriak di depan wajahnya. Ini terlalu menjengkelkan. Aku berteriak sampai tenggorokanku sakit, sampai tenggkukku berkeringat, sampai jantungku berdegup kencang.

Lalu pandanganku membentuk sebuah lingkaran dengan bingkai buram di sisi luarnya. Susunan buku itu. Aku harus ke sana sekarang. Aku akan memperbaikinya.

"Adriana," suara itu mencegahku, ia menarik tangan kiriku, mengangkatnya, lalu alat pengukur jantung analog di pergelangan tanganku berbunyi nyaring. Jarumnya bergerak-gerak menunjuk angka 110 berwarna merah, kemudian bunyinya seperti teko air yang mendidih di atas kompor. Dadaku tiba-tiba menciut, aku kehabisan ruang bernafas.

Segala hal berdengung dalam ruangan. Keringat menetes dari pelipisku, dingin rasanya. Sesak sekali waktu semua orang dalam ruangan berbondong-bondong mendekat dan berkerumun di sekitarku. Masing-masing punya ekspresi wajah sendiri. Ada yang tertawa, ada yang diam saja, ada yang berteriak memanggil kesadaranku, tapi tak satu pun dari mereka yang nampak mencemaskanku. Ruang dadaku semakin menyempit, aku megap-megap kekurangan oksigen.

Lalu, seekor serangga menyengat pergelangan tanganku. Aku berteriak tanpa suara, leherku tercekat.

Aku mengangkat alat ukur detak jantung yang disematkan di pergelangan tanganku ke depan wajah. Pelan, aku melihat jarum itu berhitung mundur.

Kemudian gelap. Dengung itu menjauh.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang