19

183 9 0
                                    

19

"Di mana Karma? Apa dia ada di sini? Ke mana kamu membawanya?" Diandra tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Suaranya membangunkan tidurku. Ia menutup pintu dengan kasar, membuka pintu kamar mandi untuk mencari-cari, kemudian berdiri di depan tempat tidurku.

Aku menggeliat, tidak tahu menahu tentang apa yang ia bicarakan.

"Ada apa, Diandra?" Pelan-pelan aku duduk di sisi tempat tidur. Aku mengucek mata. Ketika sudah benar-benar sadar, aku bangun dari sana dan mengganti baju tidur dengan seragam tanpa mandi terlebih dahulu.

"Karma tidak ada di kamarnya. Setelah yang terjadi kemarin, kamu pasti tahu dia ada di mana." Diandra bicara tanpa berhenti.

Aku masih belum paham maksudnya. Aku sendiri mengira bahwa Diandra akan ada di sana, menjaga Karma seperti biasa. Salah satu alasan yang menjauhkanku dari kamar Karma, tadi malam.

Ya, aku memang bertengkar dengan semua orang. Tapi Diandra dan Karma sudah berteman lama. Tentu mereka akan baik-baik saja dan memilih pertemanan mereka dari pada aku.

"Dia seharusnya bersama kamu. Bukankah kamu seharusnya menjaga dia semalaman?"

"Aku bukan seorang penjaga bayi, Adriana. Aku punya pekerjaan lain. Dan Karma... Aku sedang tidak ingin melihatnya. Jadi, aku tak di sana semalam."

"Jadi kenapa sekarang kamu perduli? Karma sudah dalam keadaan baik. Dia mungkin sedang latihan, atau berjalan-jalan. Sepagi ini, dia bisa melakukan apa pun yang dia mau." Aku merasa yang Diandra katakan sungguh terbalik dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana pun persoalan kemarin menganggunya, ia masih bisa bersikap setia kawan.

Diandra mengacak-acak rambutnya sambil menggeram, "Jangan buang-buang waktu, kalau memang tak tahu bilang sejak tadi."

"Sejak tadi aku bilang tak tahu!" Aku berdiri, menghadapi dua bola mata berwarna aneh yang tak seragam itu. Sekarang aku jadi ingin mengambil pensil warna dan memperbaiki warna yang asimetris itu.

Diandra menggeram lagi sambil mondar-mandir. Ia mendekat ke jendela, melihat ke bawah. Lalu mondar-mandir lagi. Seolah kalau melakukan itu Karma akan muncul tiba-tiba seperti sulap.

"Sampai kapan kamu akan bergerak-gerak seperti itu? Kamu membuatku pusing." Aku memijat pelipis.

Diandra berhenti, melipat tangannya di depan dada. Ia berdecak dan mendekatiku.

"Aku tahu kamu tidak seperduli itu, Adriana. Tapi bisakah kamu membantuku mencarinya?" tanya Diandra dengan nada yang halus, tapi tetap enggan menghadapi wajahku. Ia tahu, kalau dia sedang menjilat ludahnya sendiri. Diandra tahu ia sedang menyakiti dirinya sendiri. Tapi tak punya pilihan lain.

"Karma sudah sembuh, dia tidak perlu lagi dibantu. Percayalah padanya. Mungkin ia sedang dalam semak, atau menggoda siapa pun di suatu tempat. Sudah lama dia tidak menunjukkan kelaminnya pada penghuni balai pelatihan yang lain. Dia bisa ada di mana saja. Dia adalah Karma. Barangkali, dia sudah pergi latihan." Aku mengatakannya dengan cuek. Bukan sifat seorang Karma, berdiam diri di kamar.

"Tidak mungkin. Emosinya belum stabil. Ia seharusnya tak keluar. Mungkin Karika..." Diandra diam. Ia menutup mulutnya cepat-cepat seolah rahasia besar konspirasi dunia bisa saja keluar dari sana.

"Kenapa tidak dilanjutkan? Ada apa sebenarnya?" Aku mulai tertarik dengan pembicaraan ini.

"Tidak, tidak ada hubungannya denganmu," kata Diandra. Mencoba menutupi lubang seukuran dua meter yang sudah ia gali sendiri, dengan telapak tangannya, yang mustahil dan bodoh.

Aku mengangkat bahu, lalu bersiap pergi. "Baiklah kalau begitu. Semoga beruntung dalam ekspedisi pencarianmu sendiri."

Diandra menodongku dengan sebilah pisau—yang tentu aku tak tahu dari mana datangnya. Hanya mengancam yang ia bisa. Aku mematung. Ketika ujung runcing dan dingin itu menyentuh tulang selangkaku. Satu tangannya membekap bahuku erat.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang