10

400 15 0
                                        

10

"Diandra, Diandra!" aku tidak bisa memelankan volume suaraku ketika sadar. Diandra mendekat padaku dan duduk di sampingku. Ia menatapku dengan kedua iris mata yang berbeda warna itu.

"Kamu sudah gila?"

"Karma, di ruang besuk, tadi," terbata-bata aku bicara. Aku berlutut di lantai kamar. Kedua tanganku sibuk mengelus dada, memperbaiki nafas. Diandra berjongkok dan menutup lubang hidung dan mulutku.

"Sekarang, tarik nafas yang dalam, lalu keluarkan dengan pelan," katanya sambil menyingkirkan tangannya dari hidungku, menuntunku agar denyut jantungku kembali stabil.

Aku melakukan apa yang ia mau. Jarum alat pengukur detak jantung turun ke angka yang lebih rendah. Setelah memastikan semuanya kembali normal, aku mulai bicara.

"Aku melihat Karma di atas sebuah brankar, di ruang besuk. Aku menguping. Ibu Margot memberitahu keluarganya tentang kematiannya!" pekikku.

Diandra tidak bergeming sama sekali. Ia masih berjongkok di tempatnya semula, masih melihat wajahku dengan cara yang sama.

"Aku tidak berbohong. Aku dengar bagaimana keluarganya menangis. Ibu Margot bilang Karma..."

"Bunuh diri?" Diandra melanjutkan kalimatku.

Aku mengangguk. "Masalah mental."

"Akut? Pihak balai pelatihan akan bertanggung jawab? Surat-surat, autopsi, dan pemakaman diusahakan oleh pihak Balai Pelatihan Santa Carla." Diandra kemudian berdiri. Tanpa perduli bagaimana bingungnya aku sekarang ini, ia kembali ke atas tempat tidurnya. Berguling-guling seolah tidak terjadi apa-apa.

"Tidakkah kamu perduli? Karma adalah temanmu. Aku membuatnya kalah sebulan lalu, lalu ia tak pernah kelihatan. Hari ini dia mati, kalau kamu menjadi aku, apa kamu tidak merasa bersalah? Apakah yang akan kamu lakukan?" tanyaku tak terima.

"Aku tidak akan melakukan apa-apa," kata Diandra.

Aku mencarinya ke atas tempat tidur, menarik bajunya sehingga ia bisa duduk kembali, setidaknya mulai belajar mendengarkanku.

"Mau apa?" tanya Diandra. Sebilah pisau mencuat dari dalam genggamannya, tertuju padaku.

Aku melepaskannya, tentu tidak tahu akan berbuat apa. Tapi berita ini mengagetkan sekali, dan aku tidak mau panik sendirian. Mungkin karena merasa bersalah, aku tidak yakin apa ini hanya sifat penasaranku saja, atau benar, aku perduli padanya.

"Dia tidak mati Adriana, sudahlah."

"Aku melihat mayatnya."

Diandra mengangkat tangan kirinya. "Kamu pikir apa guna alat ini sebenarnya?"

Aku mengernyit, kemudian duduk di sebelah Diandra.

"Jelaskan padaku. Kumohon..." Aku meminta.

Diandra mengangkat bahu. Ia menimbang-nimbang sambil memandangku lekat. Lalu ia mendesah. "Ikut aku." Diandra bangun dari duduknya.

Kami berdua menyusuri lorong gedung asrama. Turun tangga, kemudian pergi ke halaman belakang gedung aula. Di sana penuh semak yang dibiarkan tumbuh membludak. Diandra menuntunku menuju sebuah lubang kecil seukuran seekor anjing kampung yang tidak tampak seperti jalan masuk menuju sebuah tempat persembunyian.

Sambil membersihkan daun-daun dan ranting kering yang melengket di baju seragamnya Diandra menunjuk sebuah sisi di dalam semak-semak yang kami masuki tadi. Sesosok perempuan terduduk di sana.

"Karma?" Aku bingung sekali dengan apa yang aku lihat dan bagaimana mulutku dengan hapal mengeja namanya. "Kamu tidak mati?" suaraku bergetar, terkesan sekali dengan apa yang ada di hadapanku.

Dengan wajah yang bosan Karma menggeleng. "Sialnya." Ia menggerutu.

Aku memeluknya, menyentuhkan tanganku di wajahnya, mengamati matanya, rambutnya, yakin bahwa ia masih orang yang sama sejak terakhir kali aku melihatnya. Kemudian aku memeluknya lagi dengan paksa.

"Bagaimana?" Diandra bertanya, pertanyaan itu ditujukan untuk Karma.

"Beginilah, sekarang aku seorang Jane Doe," katanya, seolah bangga.

"Jane Doe?" tanyaku. Pernah aku mendenger istilah itu. Biasanya diberikan pada seonggok mayat perempuan tanpa identitas di film-film kriminal. Jane Doe untuk perempuan, John Doe untuk laki-laki. Tapi benarkah yang kudengar barusan?

Karma melihatku dari atas ke bawah. Aku bisa melihat percikan api di matanya. Sepertinya ia masih sakit hati dengan perkataanku sebulan lalu itu. Itu benar-benar menganggunya. Dan kini dengan tatapan itu, ia mengangguku.

"Perlukah aku menyuapimu dengan pengetahuan sederhana begini?" Diandra berkomentar dengan malas. Aku menatapnya dengan harap, perempuan bermata flip flop itu menghela nafas, akhirnya mengerti.

"Suatu hari nanti, jika kamu sudah siap—maka mereka akan memberi kamu nama yang baru. Jadi mereka akan memalsukan kematianmu. Sehingga hidupmu akan aman. Tidak akan ada yang mencarimu. " Diandra menjelaskan.

"Bagaimana dengan keluargaku?" tanyaku bingung.

"Tak penting lagi, sebab bagi mereka kamu sudah mati," kata Karma ketus.

Aku menoleh padanya. Diam sebentar. Lalu sebuah hal gila tiba-tiba tercetus dalam otakku yang kecil.

"Jadi, alat pengukur jantung ini adalah sebuah alat untuk memalsukan kematian? Mereka akan membuat kita tak sadarkan diri, memanggil keluarga kita dan memaksa mereka mengerti bahwa kita sudah mati?" kataku panjang.

Diandra dan Karma mengangguk. "Bisa jadi," jawab mereka bersamaan.

"Atau dalam kasusku tadi, mereka memalsukan mayatku. Jadi mereka mengambil mayat orang lain, merusak wajahnya, dan meyakinkan bibiku kalau itu adalah aku, yang mati karena loncat dari lantai 5," kata Karma.

"Mereka dapat mayat dari mana?" tanyaku.

"Tidak penting. Gampanglah pokoknya." Diandra menimpali.

"Tidak penting"

"Gampang."

Aku ingat bagaimana Karma menyobek leher tukang kebun setelah berhubungan badan dengannya, dan masih bisa berkeliaran bebas di sini.

"Latihan itu..." Aku terbata, "apa mereka melatih kita untuk menjadikan kita seorang pembunuh?" Aku tahu ini ide yang gila, tapi aku tak punya penjelasan lain tentang semua hal yang sedang terjadi di depanku belakangan.

"Tidak selalu seorang pembunuh. Kamu bisa juga memenangkan sebuah pertarungan bebas. Atau menjadi seorang mata-mata," kata Diandra.

"Seperti tinju?" tanyaku.

"Mirip, bedanya, tidak disiarkan di televisi. Tidak ada aturan legal mengenai kompetisi itu. Semua orang bertaruh untuk kemenanganmu, atau untuk membunuhmu." Kali ini Karma yang menjawab.

"Intinya, kita tak akan bisa ke mana-mana. Kita akan menjadi seorang pembunuh berdarah dingin, atau petarung yang tak perduli mati." Karma menjelaskan.

Aku mengangguk. Ini masih terdengar janggal bagiku. Belum pernah aku membayangkan sesuatu semacam ini ada di dunia nyata.

"Hei, apakah kamu takut?" Karma membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh padanya. "Tidak." Lalu aku diam sebentar. "Apakah mereka akan memberi kita uang jika membunuh?" tanyaku.

Karma dan Diandra memandangku dengan tatapan yang tidak percaya—5 detik kemudian tertawa bersama.

"Tentu, tapi kamu tidak akan pernah bebas dari sini. Ini lingkaran setan. Semakin banyak darah yang kamu cecerkan, maka semakin banyak yang menginginkan darahmu. Artinya, hanya berlindung di sini, dapat membuatmu aman. Coba kamu pikir, siapa yang akan mengira sebuah balai pelatihan perempuan adalah sebuah tempat pelatihan massal untuk pembunuh?" Diandra menjelaskan panjang lebar.

Aku menarik bibirku, kemudian mengangguk. "Aku harus pergi."

"Ke mana?" Karma bertanya penasaran.

"Latihan," jawabku. Sambil memaksa tubuhku keluar dari semak-semak itu.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang