32

184 10 0
                                        

32

"Diandra, tetaplah bersamaku! Kamu akan baik-baik saja." Aku memohon sambil membalik tubuhnya. Menopang sebagian tubuhnya di atas pangkuanku.

Karika menyobek bajunya, mencari-cari di mana peluru itu menembus. Dengan acuan sedekat itu, mustahil benda itu masih di tubuhnya.

Karma terduduk. Ia tidak percaya pada matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang terjadi pada saat itu. Ia bahkan tidak percaya peluru itu bersarang di atas pinggangnya—setelah menembus Diandra.

"Tetaplah bersamaku. Kumohon." Atas semua kesedihan yang pernah aku alami dalam tubuhku, bagian ini adalah bagian yang paling kubenci. Sebuah perpisahan.

Karika kebingungan melihat dua orang di depannya—semuanya terluka, semuanya mengalirkan darah segar.

Ia segera memberiku komando, "Bantu aku menghentikan darahnya." Dan pada ibunya. "Jangan biarkan temanku mati, Mama."

Kerumitan ini semakin bergulir. Aku belum siap kehilangan siapa pun. Tidak Diandra, apalagi Karma. Susah payah aku menekan lubang itu, seberapa cepat tindakan ini akan dikatakan berhasil? Aku tidak pernah yakin.

Melihat wajah Diandra yang semakin pucat, bagaimana ia mengawasiku 'membantunya', aku tidak punya banyak pilihan selain terus berujar, "Tetaplah hidup."

Juga Karma, yang tidak mengatakan apa pun. Ia tidak bergerak. Ia membiarkan Karika menyobek bajunya, menekan sumber luka itu.

Lalu derap kaki petugas yang berhambur di ruang kerja Ibu Margot. Mungkin hanya suara tembakan yang memanggil mereka datang. Ibu Margot bersandar pada dinding ruangan.

Sementara alat pengukurku mulai berdengung. Sebelum mengucapkan selamat tinggal pada Diandra. Mereka menarikku menjauh.

.

.

.

Mataku masih basah ketika kesadaran hinggap di kepalaku. Aku direbahkan di sebuah tempat yang tidak kukenal. Lantainya penuh dengan jerami. Dindingnya abu-abu dan kasar. Sebuah dipan besi tergeletak tidak jauh dari tempatku berbaring. Karma duduk di atasnya.

Ia berdiri ketika tahu aku sudah bangun. Mendekatiku. Ia hanya memakai bra olah raga hitam dan celana panjang kain yang fleksibel. Plester hidrocolloid menempel di pinggangnya. Bekas darah berwarna coklat kehitaman masih terlihat di sekitarnya.

"Jangan." Aku mengantisipasi.

Karma berhenti. Wajahnya penuh rasa penyesalan. Tapi itu tidak cukup untuk membuatku kasihan. Atau memaafkannya. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

"Mana Diandra?" tanyaku.

Alis Karma tertekuk, ia mengatupkan bibirnya. Memandangku lama sekali sehingga aku mengerti apa yang tidak dapat ia katakan itu.

Aku menolak untuk percaya padanya. Tidak sekarang, tidak selamanya. Aku tidak akan percaya dengan apa yang akan ia katakan atau ceritakan. Aku menolak percaya apa pun katanya tentang semua hal yang seharusnya tidak terjadi.

Aku berdiri, menatap wajahnya, mencari kejujuran yang selalu nampak jelas di matanya. Bersamaan dengan itu, kemarahan menghantuiku.

"Semua ini terjadi karena kamu!" Aku menghujaninya dengan pukulan. Karma berdiri dengan tegap. Tangannya berusaha menangkap tanganku dengan susah payah. Menghentikanku.

"Adriana..."

"Aku tidak mau dengar!"

"Adriana!" Karma bersuara keras.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang