21

196 12 0
                                    

21

"Kamu mengikat mereka di tempat ini? Apa kamu sudah gila?" Diandra bertanya dengan suara yang cemas, bercampur tidak percaya.

"Aku panik, aku tidak pernah berurusan dengan hal-hal seperti ini." Karika berusaha menjelaskan, "aku tak sengaja menendang kepalanya, dia terbentur cermin. Lalu aku membiusnya."

Dalam kegelapan aku bisa mendengar suara Karika yang panik. Aku membuka mata dengan paksa, berkedip beberapa kali, agar mataku cepat beradaptasi dengan sinar. Kali ini, senja tumbuh dengan sempurna, membiaskan warna merah pada semua hal yang kulihat. Termasuk Karma, Diandra, dan tentu Karika.

"Diandra, jangan percaya padanya. Dia menculik Karma, menendangku ke cermin, dan membiusku." Aku berharap Diandra cepat pergi, mencari bantuan dan membebaskanku saat ini.

"Diamlah dulu, Adriana," Karika bicara tanpa membuka mulutnya, tubuhnya bergerak-gerak tanpa kontrol. Ia gigil, entah cemas atau panik. Ia menelan sebutir lagi tablet berwarna putih dan bulat itu. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan.

Diandra memperhatikan tingkah laku Karika. "Kamu terlalu sering berlindung pada benda itu." Ia berkomentar dengan suara pelan, tapi masih dapat kudengar.

Karika tidak menjawabnya.

Diandra mengangkat bahu sambil menghela nafas. Kemudian ia berjalan ke dekatku, berjongkok di depanku. Memandangiku dengan alisnya yang berkerut.

"Kamu benar-benar harus melihat keadaanmu sendiri sekarang." Ia menyisiri wajahku dengan matanya yang berwarna aneh. "Kamu terlihat kacau. Dan berbau amis." Caranya memandang sungguh sulit di tebak, begitu dingin. Tanpa ada empati.

Diandra mungkin sudah terlalu sering melihat darah yang berceceran, atau kepala yang isinya terburai, atau tubuh yang penuh luka tusukan. Sebagian pasti perbuatannya sendiri. Dengan demikian, sebenarnya balai pelatihan ini telah menjadi pemasok monster yang sebenarnya. Sebab yang dibawa kemari adalah orang-orang yang telah memiliki bakat menjadi iblis sejak awal.

"Jangan bilang kalau kamu dan Karika punya rencana yang sama." Aku menduga-duga, tidak sadar kalimat itu keluar dengan mudah dari tenggorokanku. "Kalian berdua sebenarnya ingin melenyapkan Karma. Dan kamu Diandra, kamu hanya berpura-pura baik agar tak ada yang mencurigaimu!"

"Kamu benar-benar berpikir aku orang jahat, ya?" Karika yang tersinggung karena merasa profesinya telah terinjak-injak oleh perkataanku. Ia mendekatiku, siap-siap menendang kepalaku seperti yang sebelumnya ia lakukan.

Diandra merentangkan tangannya untuk menghentikan pertengkaran kami yang bahkan belum terjadi. Ia menurunkan kaki Karika pelan-pelan.

"Huh!" Karika mendengus.

"Adriana, dengar. Mereka mencari Karma sekarang ini. Dokter Karika yang membantunya menghindar selama 3 minggu ini." Diandra meyakinkanku dengan intonasi yang menenangkan.

"Karena ia punya rencana lain, Diandra." Aku masih belum terima.

Lalu aku menghadapi Karika. "Karika, aku sudah dengar semua yang kamu bicarakan dengan Ibu Margot. Dan dengan cara apa pun aku akan membuktikan rencana di kepalamu." Aku mengancam.

"Kamu tidak mengerti." Karika memijat pelipisnya. Sudah habis kata-katanya untuk membuat mulutku berhenti.

"Adriana, Karika tahu kalau kamu menguping." Diandra memberi pencerahan agar aku diam dan tak terlalu malu dengan pernyataanku sendiri.

"Tapi dia dan Ibu Margot..." Aku masih saja merasa benar.

"Satu-satunya alasan, Adriana, kalau ini penting buatmu, aku dipindah tugaskan ke sini hanyalah untuk membuat semuanya tertutupi dengan baik. Eksperimen itu, jual beli petarung bebas. Rekayasa kematian anggota balai pelatihan. Jasa pembunuh tanpa sidik jari."

Karika memberi jeda dalam satu nafas. "Balai pelatihan membutuhkan seorang sepertiku. Seorang spesialis kejiwaan. Karena kalian semua yang dititipkan kesini pasti memiliki masalah dengan itu. Kalau aku ada di sini, semua alibi Margot akan tertutupi. Balai pelatihan ini akan selalu terlihat bersih." Karika menunjuk pelipisnya, ingin menjawab semua alur kosong yang terjadi dengan gamblang.

Diandra mengangkat alisnya. Seolah bertanya, 'Apa kamu sudah mengerti?' padaku.

Aku diam. Terlalu keras kepala untuk cepat percaya.

"Bisakah kamu membuat Karma tetap hidup hari ini, jika dokter di sini bukan aku?" Karika bertanya, dan aku tak bisa menjawab pertanyaannya.

Aku menggigit bibir bawah, pada akhirnya melegakan nafas seperti orang yang pasrah.

"Aku..." Aku bisa merasakan emosiku yang melunak. Mungkin juga apa dikatakannya ada benarnya. "Mungkin kamu merencanakan hal yang lain, Karika. Hubunganmu dan Ibu Margot..." Aku juga ingin dijelaskan, tentang hal lain di balik hubungan mereka. Antara Karika dan Ibu Margot, tapi darimana menjelaskannya?

"Karika bekerja pada ibunya sekarang ini." Karma sepertinya sudah sadar sejak tadi. Tapi seperti biasa, ia memilih mendengarkan dulu perdebatan kami. Selalu, ia akan hadir di saat yang tepat.

Diandra terkesiap. Matanya terbuka lebar. Pertama kali dalam hidupku, melihatnya kaget.

"Apa kamu baik-baik, Diandra?" tanya Karma, "Kupikir kamu sudah tahu soal itu."

Diandra tertegun sebentar, berusaha menguasai dirinya. "Aku sudah tahu." Ia menatap Karika, lalu mengalihkan arah pandangnya.

"Karika melindungi Ibunya, sekaligus semua orang di sini dengan caranya. Ibumu bukan orang baik, Karika. Kamu tahu itu. Tapi kamu tak tega melakukan apa pun meski punya banyak bukti. Begitu?" Karma menjelaskan. Aku yang menunggu kini.

Karika diam sebentar sebelum menjawab, "Dia ibuku. Aku melindungi keluargaku." Karika menjawab dengan anda suara yang mengambang.

"Tapi, apa yang dia lakukan itu salah. Kita akan menghentikannya."

Karika mengiyakan tudingan Karma dengan satu saja anggukan kepala. "Sekarang sudah jelas. Lalu apa?"

"Kita harus menghentikan Ibu Margot. Menghentikan eksperimen biovitamin itu sebelum semua orang terbunuh," kataku. "Lalu kita akan keluar dari balai pelatihan ini. Kita akan bicara dengan Ibu Margot." Dangkal—memang. Rencanaku bahkan tidak memiliki inti sama sekali. Dan bagaimana cara merealisasikannya, belum juga kupikirkan.

"Mungkin kamu bisa melepaskan tali ini dulu." Karma bergerak-gerak.

Diandra mengeluarkan sebuah pisau dari kantongnya. Membebaskan Karma. Lalu perempuan itu beralih padaku.

"Nah, kamu. Bisakah kamu tidak berbuat bodoh sekali saja? Misalnya, dengan berpikir dahulu sebelum melakukan sesuatu, bagaimana?" Diandra menghadapiku.

Aku menoleh pada Karika yang menunggu jawabanku. Lalu pada Karma, yang buang muka dariku tanpa pikir panjang.

Aku mengangguk. "Hal pertama yang akan kulakukan setelah simpul ini dibuka, adalah bicara berdua saja dengan Karma. Boleh?"

Tanpa aba-aba Karika dan Diandra saling pandang. "Kupikir kita sedang berjuang untuk kehidupan orang lain. Bisakah urusan personalmu menunggu?" Karika memikirkan perasaan Diandra.

"Tak apa." Diandra menarik nafas. "Sepuluh menit, cukup?" tanya Diandra di antara helaan nafasnya sendiri sambil melepaskanku. Lalu mereka meninggalkan aku dan Karma berdua saja di dek atas lantai 5 yang tak beratap. Cahaya matahari menghilang pelan-pelan. Ada warna biru dan hijau saja, warna jingga cuma percikan di ujung batas pandang kami.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang