5

521 13 0
                                    

5

"Diandra. Namaku Diandra," kata perempuan itu ketika kami sudah berada di dalam kamar. Ia bersandar di jendela, sementara aku berdiri di depannya. Memperhatikan wajahnya. "Matamu..."

Ya, itu tidak sopan, aku tahu.

"Seperti seekor anjing husky?" Ia bertanya dengan intonasi yang sarkas. Aku ingin menanggapi dengan tawa, tapi aku tidak berani.

"Apakah mata itu sungguhan?" Rasa ingin tahu sudah menguasaiku, dan aku tidak akan bisa berhenti.

Lalu perempuan bernama Diandra itu mengangkat tangannya, membuat gestur seolah ingin mencongkel satu matanya. Terlalu meyakinkan, maka aku menunggu. Kalau-kalau apa yang ia lakukan membuahkan hasil.

Dan ia berhenti begitu saja, berdecak lalu menatapku dengan serius. "Genetika. Heterochromia namanya, paham?" Diandra membentakku. Pasti dia tidak menyangka kalau aku benar-benar bodoh.

Aku mengangguk, tapi mulai terbiasa dengan sikapnya yang kasar. Sekali lagi aku memandangi wajahnya yang galak. Lalu aku menyingkir dan duduk di atas tempat tidurku. Kini lebih lega rasanya karena aku sudah tahu namanya.

"Coba kamu kemari. Lihat siapa yang sedang cari perhatian di bawah sana." Diandra menunjuk jendela di belakangnya. Aku segera berdiri, karena tidak yakin dengan maksudnya.

Perempuan itu lagi, berdiri di tempat yang sama seperti saat siang tadi. Ia mendongak ke arahku, tersenyum saat ia tahu kalau aku dengan sengaja mencarinya, mengintipnya.

Ia seorang pembunuh, dan aku malah tertarik padanya. Aneh sekali.

"Siapa namanya?" tanyaku pada Diandra.

"Karma. 19 tahun. Yatim piatu, selama ini tinggal bersama bibi dan pamannya beserta dua anak mereka. Dititipkan di sini karena dengan sengaja menembakkan kembang api di tengah kerumunan masa. 1 orang tewas dengan perut terburai, 3 luka bakar, 10 orang lain trauma psikis karena melihat perut yang terburai dari korban yang tewas. Beberapa kali kedapatan merampok persediaan obat di apotek. Tapi dia bukan seorang pecandu. Ia hanya alat untuk memanipulasi. Selebihnya, ia dapat bagian dari penjualan obat hasil rampokan itu. Mereka pikir menitipkan seorang sosiopat di tempat ini adalah pilihan baik. Balai pelatihan ini jelas membuatnya semakin gila." Panjang lebar, Diandra mengakhiri presentasinya dengan helaan nafas.

Aku menoleh padanya, takjub dengan hasil risetnya. "Wow, dari mana kamu tahu itu?" tanyaku.

"Kamu butuh tahu golongan darah dan riwayat pendidikannya?" Seperti sebuah robot yang didesain untuk menginvestigasi, Diandra tidak terlihat akan berhenti.

"Hm, tidak, terimakasih banyak." Aku tersenyum, mengacungkan jempol padanya. Diandra mengangguk, ia duduk di pinggir kasurnya. Tak lama, ia terlihat sudah beralih fokus pada sejumput lap dan pisau kecil di tangannya, yang entah ia dapatkan dari mana.

Ketika aku menoleh ke luar jendela gadis bernama Karma sudah menghilang dari sana. Aku memincingkan mata, mencari-cari sosoknya dalam gelap. Tapi tak juga menemukannya. Aku menghela nafas. Rasa penasaran seperti merangkak naik ke tengkukku. Aku ingin mencarinya, meski tak bertujuan, atau ia cukup berbahaya.

"Jangan pernah berpikir," kata Diandra. "Jangan cari masalah di hari pertama."

Aku ragu kalau ia sedang bicara denganku, aku menoleh padanya.

"Sudah jam malam. Percaya padaku kali ini saja. Mereka itu lebih liar dari yang kamu lihat dalam aula, atau pada siang hari." Diandra mengecilkan suaranya. Dari intonasinya, aku yakin apa yang ia katakan adalah hal yang serius.

"Mereka siapa?" tanyaku mendekati Diandra.

"Para pegawai asrama, dan Ibu Margot. Mereka seperti burung dara di siang hari. Mereka bisa tersenyum padamu. Tapi mereka adalah burung hantu yang memata-matai. Tidak, kadang mereka adalah burung elang. Kamu akan menyesal saat tahu, hukuman apa yang mereka berikan pada penyusup di malam hari," kata Diandra menakut-nakutiku.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang