27

172 8 0
                                    

27

Setelah pergulatan yang panjang, Karika yang berusaha kabur, Diandra dan gayanya mengancam, serta Karma—yang tidak melakukan apa pun selain menonton mereka berdua tarik menarik seperti dua anak perempuan berebut boneka barbie, Karika akhirnya menyerah.

Ia bercerita panjang lebar. Aku membantunya sesekali jika ada bagian yang tertinggal atau sengaja tidak ia jelaskan.

Akhirnya setelah tarikan nafas yang panjang, Karika mengosok-gosok wajahnya sampai merah dengan telapak tangannya.

Diandra diam di tempat, berpikir keras tentang insiden yang terjadi belakangan ini. Karma, dia tak akan bicara terlalu banyak. Ia tidak seberisik saat pertama kali aku bertemu dengannya. Mungkin memang begitu sifat aslinya.

"Sekarang aku sudah tahu, kenapa kalian berdua takut pada ibu Margot," kataku sambil mengingat kembali benda seukuran korek dengan dua tombol biru merah yang dipegang Ibu Margot. "Dia mungkin memasang panel bervoltase tinggi pada kalian."

Kalau obrolan soal biovitamin masuk akal di sini, artinya alat semacam itu tidak bisa ditepis eksistensinya.

"Aku sudah berusaha mencarinya. Aku tidak tahu di mana dia menanam benda itu di badanku." Karika menjawab dengan frustasi.

Karma menatap Karika. Sepertinya hanya dia yang tidak tahu soal benda itu.

"Berapa jarak kontrolnya?" tanyaku. "Pasti ada limit jarak."

"Tidak yakin, memangnya kenapa?" tanya Karika lagi.

"Sebenarnya kita bisa saja membunuhnya, asal tak berjarak terlalu dekat dengannya." Diandra, seperti biasa, menyulut api di tumpukan ranting yang kering. "Kita hanya perlu tahu siapa yang tidak memiliki panel itu."

"Atau dengan cara apa kita membunuhnya," sahut Karma.

"Dia itu masih ibuku, hati-hati mulutmu itu." Karika tidak setuju.

"Sejak kapan kamu menganggapnya ibu?" Diandra menyerang. Karika gelagapan. "Jangan bilang perempuan itu mengancammu."

Karika menunduk.

Aku memandangi mereka. "Tidakkah kita bisa kabur?"

Diandra tidak setuju. "Bisa, tapi kita tak akan punya hidup tenang di luar sana. Ingat, kita akan kabur dari sarang pembunuh." Lalu Diandra berpikir lagi.

"Kita bunuh dia. Dan Karika akan menjadi pewaris balai pelatihan ini. Kita hanya perlu membuat ini seperti sebuah kecelakaan," kata gadis bermata flip flop itu lagi.

"Tidak seperti kecelakaan juga tidak apa-apa. Karika punya Yovanes," kata Karma.

"Siapa?" tanyaku bingung.

Tapi, tidak ada yang menjawab pertanyaanku.

"Masih bukan rencana yang bagus," kata Karika. "Lagipula siapa yang mau jadi ahli waris balai pelatihan ini?" Ia mencibir.

"Aku," kata Diandra. Lalu mereka berdua bertatapan. Tidak kumengerti mengapa, tapi tatapan itu bukan soal Ibu Margot lagi sepertinya.

Lalu kami semua diam. Pembicaraan ini tidak punya titik temu sama sekali. Karika kemudian mengisi waktu dengan menempelkan plester hydro-colloidduoderm ke atas luka jahitanku. Tindakan itu malah membuat Diandra terinspirasi untuk membahas hal lain.

"Jadi, apa yang membuatmu mengambil inisiatif untuk menusuknya?" Diandra bertanya pada Karma dengan nada yang dingin. Lagi, aku merasa perang baru akan dimulai.

"Karena aku harus." Karma menjawab dengan malas.

"Tidak begitu jawaban yang aku mau." Diandra mendesak.

"Sudahlah Diandra." Aku melerai pertengkaran yang belum terjadi.

"Aku tahu kamu menyukainya. Tapi tidak dengan membelanya seperti itu. Kamu beruntung karena tidak mati." Diandra malah menyerangku.

"Aku tidak pernah membolos di kelas anatomi Diandra, aku tahu di mana harus menusuknya. Aku melakukannya bukan karena tidak sengaja," kata Karma merasa diremehkan. "Satu-satunya keberuntungannya adalah berhadapan denganku. Bukan dengan orang lain."

"Diandra, Karma membantunya melerai 6 orang lain yang menyerangnya." Karika mengulurkan bantuan.

"Jadi kamu ada di sana?" Aku bertanya.

Karika langsung diam. Mengangkat bahunya. "Baiklah, sekarang aku yang akan disalahkan."

"Kamu ada di sana tapi kamu tidak melakukan apa-apa?" tanya Diandra pada Karika. Semakin memojokkannya.

"Karika tidak bisa berbuat banyak. Aku saja tidak bisa berbuat banyak."

"Sudah cukup banyak Karma, kamu menusuk Adriana. Dengan pisau," kata Diandra. Semua orang jadi salah di matanya sekarang ini.

"Kalau aku menusuknya dengan jari, ceritanya akan berbeda menurutmu?"

Diandra langsung emosi. Ia nyaris berdiri, tapi Karika memegang tangannya.

Akhirnya Karma yang berdiri. Membuat kami semua menoleh padanya. "Aku pamit. Tidak ada gunanya bicara soal humaniti pada pembunuh," kata Karma.

"Kamu dengar apa yang kamu katakan?" Diandra sudah bangun dari tempatnya duduk menghadapi Karma. Kini jarak mereka hanya sejengkal. Dari hidung ke hidung.

Karma mengepalkan tangannya. Mereka saling menantang, menunggu siapa yang akan menyerang lebih dahulu. Di luar itu, siapa pun yang melakukannya, mereka telah sama-sama siap.

"Kalian yakin ini masalah humaniti? Atau masalah hati?" kata Karika, ia melewati mereka. Sebelum menutup pintu kamar dan menghilang, ia melambai padaku, "Aku pamit, besok pagi akan datang mengecek lagi."

Karma mundur, mengikuti Karika untuk pergi dari kamarku.

"Kalau aku tidak menusukmu, kamu sudah mati 4 hari yang lalu." Ia memandangku, berkedip dua kali, kemudian membuka pintu dan menutupnya dengan kasar.

"Diandra, sudahlah," kataku membujuk.

Diandra berbalik padaku. Duduk di sisi tempat tidurku. "Kenapa kamu selalu membelanya?"

"Aku tidak membelanya, tapi apa yang dikatakannya ada benarnya juga. Kalau bukan Karma yang melakukannya, mungkin 6 orang yang lain punya misi yang sama," kataku menjelaskan.

"Banyak orang yang berlatih di sini, kenapa Karma yang harus melawanmu."

"Aku masih percaya semuanya bukan sebuah kebetulan. Mungkin Ibu Margot ingin kita saling membunuh," jawabku.

Diandra tertawa pahit. "Ya." Setelahnya, ia menggenggam telapak tanganku. "Aku minta maaf." Ia melontarkan kalimat itu dengan lembut. Seperti saat di dalam kamar mandi waktu itu.

"Soal apa?" Picisan sekali pertanyaanku. Mungkin aku sedang terbawa suasana, karena Karika menghentikan treatment morfinku.

"Kalau bukan kami menghindarimu selama ini, kamu tidak akan berbuat bodoh dan menyetujui program biovitamin itu." Semakin lama, suaranya semakin pelan. Aku merasa kasihan. Lalu kubalas genggaman tangannya.

"Sudah terjadi. Aku harus mengikuti prosedur selanjutnya. Setelah ini kita pikirkan cara untuk menghindar," kataku.

Diandra mengangguk. Mendekatkan wajahnya padaku. Menatap mataku dalam sekali. Sehingga aku tenggelam di dalam sepasang iris yang warnanya asimetris itu.

"Aku rindu padamu," katanya.

Aku tersenyum. Tapi tak menjawab kata-katanya.

Diandra keburu menggamit bibirku, lidahnya menyusup masuk. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali membalas ciumannya. Sekarang mempercayai Karma akan melakukan hal semanis ini padaku hanyalah sebuah bualan.

Diandra menarik bajuku naik, mengecup dadaku pelan sekali, seolah aku akan pecah kapan pun.

Aku mendesah. Hanya rasa sakit yang bisa membuatku tidak melakukan banyak. Tapi Diandra tahu itu.

"Diamlah, aku mengerti," katanya. Sambil melanjutkan malam yang masih panjang.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang