13

251 16 2
                                    

13

"Tidak banyak anggota balai pelatihan yang memiliki rasa ingin tahu sebesar kamu. Artinya, kamu harus lebih hati-hati." Perempuan itu lagi. Muncul tiba-tiba. Ia duduk di sebelahku. Kaki kanan ia tumpangkan di atas kaki kiri—terlipat rapi dengan sepatu kets mahal berwarna merah dan jas putih panjang.

Rambutnya yang coklat terjalin rapi di belakang, senyumnya manis, bibir tipis dan hidung kecil, mancung. Wajahnya tirus. Kacamata membingkai alisnya yang tajam dan tebal. Aku mengerutkan kening. Aku tidak yakin akan keberadaanku sekarang.

Tubuhku berbaring. Kedua tanganku terikat di sisi tempat tidur. Begitu juga kakiku. Aku mengepalkan tangan. Berusaha melepaskan diri pelan-pelan. Tapi aku tahu itu bukan hal yang mungkin terjadi di sini. Mereka tahu kalau aku akan berusaha memberontak.

Perempuan misterius itu mengangguk-angguk seolah ia bisa mendengar isi pikiranku. Beberapa kali aku melihatnya mengedipkan mata dengan kecepatan yang aneh.

"Baiklah, saya mengerti," katanya, untuk dirinya sendiri.

"Di mana Karma?" tanyaku.

Tak ada jawaban.

"Diandra?" kuulangi lagi.

Tak ada jawaban.

Dokter itu bangun dari duduknya, mondar-mandir tiga kali di sampingku. Membuatku semakin bingung.

"Saya akan melepaskan kamu sekarang. Karma di kamarnya. Diandra juga di kamarnya. Maksudku kamarmu. Kamar kalian. Semua baik-baik saja. Kamu tidak melihat apa pun tadi. Kamu hanya kelelahan. Mengerti?" Tanpa menunggu tanggapanku, ia membuka semua knop pengunci yang mengikat kaki dan tanganku.

Ini makin aneh, sejak dilepaskan begitu saja, aku malah tidak ingin beranjak cepat-cepat.

Perempuan itu tertawa melihat tingkah lakuku.

"Saya Karika. Kamu Adriana, 'kan? Senang bertemu dan berkenalan denganmu. Sekarang kembalilah ke kamarmu. Dan, sampai ketemu lagi."

Aku turun dari tempat tidur dan meninggalkan ruang klinik buru-buru.

Sebelum menutup pintu, Karika—perempuan yang mungkin seorang dokter itu melambai. "Jangan katakan apa pun pada Margot," katanya sambil bercanda.

Sambil berjalan kembali ke asrama, beberapa kali aku menoleh ke belakang karena penasaran dengan perempuan baru itu. Aku sudah sebulan lebih menghuni balai pelatihan ini, dan masih belum benar-benar tahu mengenai seluk beluk tempat ini.

Kupikir, aneh sekali. Karma keadaannya lebih parah, secara fisik. Tapi kenapa ia tidak dirawat di ruangan itu? Sementara aku, tidak dalam keadaan terlalu buruk, malah ditempatkan dalam bangsal klinik balai pelatihan. Terutama dokter bernama Karika itu. Bersikap kikuk dan aneh. Bicara sendiri, berkeliaran di asrama. Ada apa sebenarnya? Atau selama ini aku terlalu fokus pada latihanku dan tidak memperhatikan sekitarku?

Aku menoleh pada jarum di alat ukur jantungku. Menunjukkan angka 50. Mengingatkanku pada milik Diandra. Aku mengerucutkan bibirku, lalu memutuskan akan mencarinya sekarang karena semua ini semakin kupikirkan, semakin aneh.

Aku berkeliling asrama untuk mencari kamar Karma. Aku mengkhawatirkan keadaannya. Lengan kirinya robek. Aku masih ingat betapa menjijikkannya kulit perempuan itu. Terjuntai seperti pelepah pisang.

Aku jadi membayangkan bagaimana bentuk jahitan akan bertengger di sana. Juga wajahnya yang penuh darah. Bagian mana yang benar-benar luka? Apakah wajah cantiknya akan cacat selamanya? Sayang sekali.

Setelah bertanya pada nyaris semua orang yang kulewati, kini aku sudah berada pada lorong kamar asrama Karma.

"Karma..." Aku mengetuk pintu dan lancang masuk ke dalam kamarnya. Diandra ada di sana. Ia duduk bersandar di lantai dekat tempat tidur.

Diandra membuang muka ketika aku datang. Aku belum bilang apa-apa, ia langsung menggeser tubuhnya, hendak melarikan diri. Aku berjongkok di depannya, menunjukkan alat pengukurku di depan kedua matanya yang berbeda warna.

"Ini aneh, 'kan?" tanyaku padanya. Diandra menoleh setelahnya. Lalu duduk kembali.

Aku melihat Karma yang masih memejamkan mata. Wajahnya membengkak, warna ungu dan biru bertabur di sana, 3 jahitan menyambung kulit di tulang pipinya. Tanpa menunggu Diandra, aku kembali melontarkan pertanyaan, "Mengapa kamu melakukan itu pada Karma?"

"Itu yang mana?" Diandra mengeluarkan sebuah pisau lipat model kupu-kupu yang biasa. Yang selalu tampak berkilat. Ia memainkan pisau itu dengan rasa bosan yang terpapar jelas di wajahnya. Ia tentu sedang menyembunyikan sesuatu. Ia selalu melakukan itu jika sedang memikirkan sesuatu.

"Jangan bercanda pada saat seperti ini Diandra," kataku.

"Aku tidak sedang bercanda, Adriana." Ia menghentikan putaran pisaunya, kemudian memandangku.

"Kalau begitu kamu mungkin bisa menjelaskan siapa yang membuat Karma begini," perintahku. Berusaha nampak tenang di depan psikopat ini.

"Dia sudah begini pada saat aku datang tadi."

"Bohong."

"Aku tidak pernah berbohong, demi Tuhan, Adriana!" Ia mendorongku, mendekap leherku dengan tangan kirinya.

Aku terkunci di lantai dengan kedua lengan terbuka. Tiga kali mengetuk lantai menandakan sikap menyerah.

"Kenapa kamu perduli sekali?" Diandra gemas.

"Kamu terlihat perduli, kenapa aku tidak boleh?" Aku masih berani menjawab kegusarannya. Diandra dengan gerakan ringan melepaskanku. Kami kembali duduk. Diandra kembali pada pisaunya.

"Dia sudah dalam keadaan begitu ketika aku datang. Lalu kamu datang, dan tidak sadarkan diri. Aku minta bantuan Karika. Dan di sinilah kita sekarang. Mengerti?" Diandra menjelaskan sebisanya.

Kini, aku mendengar nada khawatir dalam kalimatnya. Aku percaya Diandra memang jujur kali ini.

"Karika yang dokter itu?" tanyaku. Meyakinkan bahwa Karika adalah orang aneh yang kutemui di klinik tadi.

Diandra mengangguk.

"Bukannya ini aneh, kenapa dia malah menaruh Karma di sini dan aku di klinik?" Aku memandang Diandra, kemudian Karma—seolah ia mendengar, kemudian kembali pada Diandra. "Tidakkah itu aneh? Karma seharusnya..."

Karma, Karma, Karma.

Aku tahu sudah berlebihan dengan ini, dan Diandra sama skeptikalnya dengan pikiranku,

"Karma, Karma, Karma. Adriana, kamu berlebihan." Diandra dengan pandai meniru isi pikiranku. Ia memutar matanya. "Adriana, menurutmu Ibu Margot akan bilang apa jika kita menggotong Karma mengelilingi balai pelatihan? Dengan keadaan begini, ia pasti sudah dimasukkan ke dalam tungku mayat dan dipanggang."

"Kenapa?" tanyaku, menyela.

"Karena kita tidak tahu apa ia akan cacat atau sembuh seperti semula! Ya, Tuhan! Berhenti menyela omonganku!" Diandra memijat pelipisnya.

Aku menutup mulut dengan kedua telapak tanganku.

"Manusia tidak seberharga itu di sini. Kita diberi makan karena kita akan menjadi alat pembunuh. Keluarganya sudah tidak mengharapkan dia kembali ke rumah. Melihat kita mengelilingi balai pelatihan dengan Karma yang tidak berdaya, apa yang akan Ibu Margot pikirkan? Ia akan mengira Karma lemah, dan tidak akan mempertahankannya. Apalagi setelah kamu mengalahkannya. Berusahalah mengerti Adriana. Tidak semua hal harus kamu muntahkan dari mulutmu, pertanyaan-pertanyaan itu!" Diandra menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Lalu menghebuskannya, panjang sekali.

"Dan Karika..." Diandra melirik Karma, kemudian aku. "Dan Karika bukan dokter yang merawat luka. Dia spesialis kejiwaan," katanya.

"Kamu mengenal Karika?"

"Apa?"

"Lupakan," jawabku. Kemudian aku mengangguk, pura-pura mengerti. Pertanyaan semakin menumpuk di kepalaku. Tapi aku tahu kalau bertanya lagi, Diandra akan menggila dan murka.

"Baiklah, aku akan pergi latihan sekarang," pamitku.

Diandra mengantarku ke pintu. Aku berdiri sebentar sementara kami saling memandang. Kami menegarkan nafas di saat bersamaan. Kemudian aku melambai. Diandra melambai.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang