9

370 14 0
                                        

9

Sudah sebulan berlalu setelah hukuman terakhirku. Dan sejak itu, tak satu penghuni pun di balai pelatihan santa Carla berani menatap langsung padaku sampai hari ini. Artinya, aku tidak punya teman sama sekali. Kecuali Diandra, yang mungkin terpaksa bicara padaku karena ia teman sekamarku. Dia satu-satunya yang bisa kuajak mengobrol, meski kadang caranya bicara terlalu kasar.

Tapi, kemananganku waktu itu ada untungnya. Karena nampaknya penghuni di sini jadi menghormatiku dan takut padaku. Sementara pegawai di sini, mereka sepertinya tidak perduli dengan pencapaianku sama sekali. Mereka tahu, aku memenangkan hukuman itu hanya karena beruntung. Aku lebih senang menyebutnya dengan cerdas.

Sedangkan Karma, sebulan ini ia tidak juga terlihat. Selama sebulan aku selalu mencari sosoknya. Aku sengaja berdiri di jendela—berharap dia berdiri di pagar itu, tempat pertama kali aku melihatnya sedang melihatku. Aku agak merasa bersalah sebenarnya, ia pasti menyerangku tanpa bermaksud memusuhiku waktu itu.

Sudah kutimbang-timbang, alasannya mendorongku waktu itu adalah justru untuk melindungiku. Sebagai penghuni lama, ia pasti tahu apa yang akan terjadi pada kami—penghuni di sini. Jika menolong satu sama lain, akhirnya akan memperkeruh situasi. Semua orang menjalankan urusan masing-masing. Kami tak pernah dibiarkan bicara terlalu lama dengan orang lain di depan umum. Sosialisasi bukan budaya di sini. Kalau saja waktu itu aku mengerti, dan mengikuti kata-kata Diandra.

Dan hari ini adalah waktu yang ditentukan untuk kunjungan keluarga. Aku bangun lebih awal, membersihkan diri, menunggu keluargaku. Kami hanya punya waktu setengah jam bertemu, sampai waktu pelatihan dimulai.

Sebagai anggota baru di balai pelatihan ini, aku dijadwalkan selama 3 bulan penuh untuk mengikuti semua pelatihan olah tubuh di sini. Olah Tubuh Dasar mereka menyebutnya. Aku akan fokus latihan fisik seperti kardio, angkat beban, yoga, atau apa pun yang bisa melatih kordinasi motorik dan staminaku. Terdengar aneh, tapi bagiku, lebih baik begitu, sebab sepertinya tempat pelatihan perempuan pada umumnya hanya berlatih untuk memasak, jahit menjahit, kerajinan tangan, berkebun, dan merangkai bunga.

Apa lagi yang bisa kuharapkan? Semua perempuan nakal dititipkan di sini, mereka menjadi nakal pasti karena kelebihan energi. Begitu pula makanan yang mereka sediakan. Semuanya mendukung 'misi menghabiskan energi' untuk orang-orang di sini.

Sekarang aku sudah menjalaninya, setidaknya sebulan ini aku belajar bahwa Balai Pelatihan Perempuan Santa Carla tidak seburuk dan semengerikan apa yang dikatakan Diandra saat aku tiba di sini.

Dengan pasti aku dapat melihat bagaimana berat badanku turun, bagaimana otot lenganku mulai memadat. Dan, kakiku bertumpu lebih kuat dari sebelumnya. Tentu, aku tidak akan menyalahkan aturan di sini, semua perempuan di sini terlihat menarik. Bentuk tubuhnya.

"Adriana," suara di depan pintu memanggilku. Aku sudahi lamunanku di jendela. Berjalan keluar kamar, untuk menemui keluargaku.

Ruang kunjung berada di gedung lain, letaknya lebih dekat dengan gerbang utama balai pelatihan santa Carla. Tidak seperti gedung lain di area ini, gedung kunjungan hanya berupa bangunan satu lantai yang memanjang. Mirip bangunan sekolah dasar lama, atau kadang terlihat lebih mirip sebuah bangsal di rumah sakit atau puskesmas. Aku tidak bisa menjelaskan kapasitas gedung itu, karena kadang yang bisa terlihat tidak seluas saat kita memasuki setiap pintu di sana.

Saat memasuki ruang kunjungan, aku harus melewati sebuah koridor yang di setiap sisinya terdapat pintu-pintu pemisah keluarga satu dan yang lain. Jadi, tak ada keluarga yang benar-benar berkumpul (tercampur) dengan keluarga yang lain. Entah untuk alasan apa, aku menganggap ini sebagai sebuah dedikasi terhadap pentingnya privasi untuk keluarga. Sampai saat ini.

Aku melewati kursi-tunggu yang berkapasitas 3 sampai 4 orang di depan masing-masing pintu. Beberapa keluarga duduk dengan tenang, sibuk dengan koran, brosur apa pun yang disediakan untuk menunggu waktu kunjungan yang selalu dibatasi dengan disiplin. Tidak ada lelaki—terutama.

Langkahku melambat saat sebuah brankar yang didorong dua orang pegawai melewatiku. Ibu Margot berjalan di belakangnya. Dengan rasa penasaran aku mengikuti ketiga orang tersebut diam-diam, menguntit di belakang hingga mereka hilang dalam sebuah pintu ruang kunjungan.

Dengan nafas yang tertahan aku mencoba mendengarkan, apa yang terjadi di dalam sana.

Siapa yang mati? Mengapa? Aku tidak mendengar berita apa pun, tidak dari bisik-bisik anggota pelatihan, juga tidak dari Diandra.

"Tewas bunuh diri."

"Pemakaman adalah tanggung jawab kami..."

"Tidak akan merepotkan keluarga."

"Surat-surat akan diurus secepatnya."

"Surat autopsi sudah sampai." Sayup suara Ibu Margot terdengar dari celah pintu. Aku memejamkan mataku. Berharap, menutup satu indra akan mempertajam indra yang lain.

"Karma memang sejak awal memiliki masalah mental yang akut. Jadi..."

Karma.

Mendengar itu, aku terduduk di tempatku menguping. Dengan panik aku memegangi jantungku, telingaku berdenging. Yakin keringat dingin mulai keluar, aku merangkak menuju pintu ruang kunjung milikku, di mana keluargaku pasti sudah menunggu. Aku tidak bisa lama-lama berdiam di sini, seorang pegawai akan menghukumku jika ketahuan mencuri dengar.

Mengapa? Apa yang ia lakukan? Apakah seseorang sengaja melenyapkannya? Benarkah ia bunuh diri? Aku bahkan tidak melihatnya selama sebulan. Apa yang ia lakukan sebulan ini? Apakah ia membuat masalah lagi sehingga mereka tak bisa memaafkannya dan membuatnya mati? Apa Diandra tahu? Apa yang akan ia katakan? Atau sengajakah ia menyembunyikan berita ini dariku?

Aku bahkan belum minta maaf—apa yang kulakukan pada saat kami dihukum, mungkin adalah sebuah kecurangan. Dan itu mungkin membuat Karma mati. Tapi mustahil. Karma tidak akan semudah itu mati. Atau mereka membunuhnya karena Karma kalah dari anak baru sepertiku? Setega itukah mereka? Benarkah yang kudengar barusan? Tidakkah keluarganya curiga? Aku ingat kata-kata Diandra yang dulu itu. "Mereka akan merencanakan kematian kita."

Aku susah payah menyeret kakiku agar cepat sampai ke ruang kunjungan.

Ibuku mendekat, melihatku, tersenyum ringan. Aku melambai padanya. Berusaha tersenyum. Aku bersandar pada tembok, agar tidak ambruk.

"Apa kabarmu?" Ia bertanya dengan nada iba.

Aku mengangguk. Nafasku sulit dikendalikan.

"Bagaimana pelatihannya?" Wajahnya mulai berubah. Ia tahu ada yang tak beres denganku.

Tahukah ia aku sedang membayangkan Karma di atas brankar tadi—tidak bernyawa?

"Adriana." Ibu memanggil, aku berusaha fokus.

Tapi aku tidak bisa membuat jarum alat pengukur berhenti berdengung.

"Suara apa itu? Apa yang mereka lakukan padamu?" Ibu mendekat, kali ini mencoba menyentuh bahuku.

"Keluarkan aku dari sini," kataku panik. Kemudian aku sudah tahu, alat itu akan melepaskan bius ke dalam pembuluh darahku dalam hitungan detik. Bunyinya selalu menggangguku. Aku lalu menahan nafas, terlambat atau tidak, aku mencoba. Aku tidak mau melewatkan sedetik pun dalam ketidaksadaran. Tidak sampai aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Adriana, apa maksudmu?" Ibu masih mendesak. Aku menahannya bicara lebih banyak, sambil masih memegangi tembok ruang besuk aku memutuskan kembali ke dalam kamarku, mencari Diandra.

Sekarang juga.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang