11
Setelah latihan seharian, aku tidak lagi memikirkan tentang apa yang akan dipikirkan keluargaku saat jam kunjungan tadi. Mereka mungkin merasa bingung dan bertanya-tanya tentang sikapku. Tapi saat aku di rumah, dengan beberapa episode masokis memalukan itu—aku tak yakin mereka masih dengan tulus mengharapkanku kembali. Mereka tidak akan tahan dengan omongan tetangga.
Matahari mulai menciut di ujung barat. Sebuah pohon membentuk siluet, di depannya bangunan aula berdiri tegak, seseorang menyalakan lampu kecil-kecil seperti biasa. Sudah waktunya pujian malam. Aku mungkin akan langsung ke sana, baru setelahnya kembali ke kamar.
Di ruang aula, beberapa penghuni balai pelatihan sudah duduk dan khusuk dengan buku pujian malam. Beberapa di antaranya berlutut, menutup mata—mungkin sibuk berdoa. Aku sibuk menghapal wajah-wajah yang masih terlihat baru, atau selalu terlihat baru. Aku tak yakin. Bahkan, aku tak pernah tahu mana yang sebenarnya penghuni baru dan lama, atau yang sudah punya nama baru. Semua begitu rapat menyimpan rahasia di sini. Tidakkah mereka punya rasa penasaran?
Tepat jam 8.30, pujian malam selesai. Aku keluar dari barisan kursiku, berjalan mendekati kursi pegawai balai. Ibu Margot sudah berdiri dan hendak meninggalkan aula ketika aku sampai di hadapannya.
"Selamat malam, Ibu Margot," kataku memberanikan diri.
Ibu Margot memandangku dengan tatapan yang sama dingin seperti sebelumnya.
"Ya? Adriana?" Ia berusaha memperhalus nada suaranya.
"Bisakah saya bicara, 2 menit saja?" Meski terdengar menuntut, aku masih berharap cara ini berhasil.
Ibu Margot berjalan meninggalkan ruangan. Aku mengekor di belakangnya.
"Mari bicara sambil saya antar kamu ke gedung asrama."
Di luar dugaanku, Ibu Margot kini terdengar jauh berbeda dari apa yang aku citrakan dalam kepalaku.
Kami berdua berjalan beriringan, Ibu Margot berjalan dengan tegap dan pelan, sementara aku menunduk di sebelahnya. Lenganku bersimpul di depan dadaku, menahan udara malam yang cukup dingin hari ini.
"Saya ingin tahu, kapan waktunya," kataku.
Aku dengar suara helaan nafas Ibu Margot yang dengan begitu ajaib membuatku menciut sedikit.
"Jadi, seseorang sudah memberitahumu?" tanyanya. Raut wajahnya masih sehambar sebelumnya.
Aku menelisik dari sudut mataku. Tak ingin bermulut besar. Diandra akan dapat masalah.
"Saya hanya tidak ingin keluarga saya datang lagi," kataku. "Mereka hanya pura-pura perduli pada saya dan keberadaan saya."
"Hm... Mengapa kamu berpikir demikian? Tidakkah mereka penting untukmu? Tidakkah keluarga adalah hal yang penting?" Ini pertama kalinya aku mendengar nada suara bingung milik Ibu Margot.
"Kalau saya penting untuk mereka, mereka tak akan menyingkirkan saya ke sini. Bukan begitu? Bukan begitu yang terjadi pada semua perempuan di sini? Dan, bagi mereka saya hanyalah anak perempuan pembawa masalah. Syukurnya, saya sudah merasa nyaman di sini," kataku.
Ibu Margot berhenti, beberapa lama kami terdiam setelah kalimatku itu, tanpa kusadari gedung asramaku hanya berjarak beberapa meter lagi dari tempat kami berdiri.
Ia menghadapiku. Matanya memincing penuh rasa penasaran namun waspada. Ia mencurigaiku. Sangat kentara. "Saya tidak tahu apa yang sedang kamu rencanakan, Adriana. Tidak biasanya anak perempuan di sini banyak bicara setelah 1 bulan latihan fisik dan pantangan makan. Tapi, saya anggap kamu bukan anak perempuan yang biasa. Ya, semua anak perempuan di sini adalah orang-orang yang tidak biasa. Saya akan menganggap kamu mengerti dengan apa yang kamu katakan tadi. Saya tidak ingin kamu asal bicara dan pada akhirnya menyesal."
KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romance18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...