7
Karma tidak meronta sama sekali saat dibawa keluar dari ruang makan. Aku sendiri sudah mencoba semalam, tapi semua orang di sini jauh lebih kuat dari apa yang aku bayangkan. Meski 99 persen penghuni Balai Pelatihan Santa Carla adalah perempuan, semua orang terlihat bugar. Semua orang terlihat seperti perempuan-perempuan di serial Marvel. Kekar. Tegap. Segar.
Lupakan kata terakhir.
Termasuk Diandra, yang kerjanya hanya berbaring saja seharian, sejauh ini. Mungkin karena sebagian waktu kuhabiskan untuk 'teler'. Dan, aku bahkan belum mengikuti satu kelas pelatihan sama sekali. Waktu yang kuhabiskan untuk pingsan lebih banyak dari jumlah hari yang kuhabiskan di sini.
Mungkin ini akan berakhir jika 'tembakan' obat bius dari jam pengukur detak jantung ini habis. Tapi bisakah tembakan ini habis? Jika tembakan ini habis apakah yang akan terjadi? Apa ada prosedur pengisian ulang? Sial, apa yang sedang aku pikirkan?
Sementara Karma berjalan di depanku, seorang pegawai menuntunnya seolah tanpa paksaan. Ataukah Karma sebenarnya sudah terbiasa dan tahu ke mana kami akan dibawa?
Memang benar, ketakutan ada karena ketidaktahuan. Aku sibuk menahan nafas, mengalihkan perhatian, supaya tidak terlalu fokus pada ketidaktahuanku mengenai ke mana aku akan dibawa sekarang, dan apa yang akan mereka lakukan padaku sebagai hukuman.
Kami berempat memasuki sebuah ambang yang pintunya sudah terbuka. Gedungnya memiliki tekstur bata, tinggi menjulang. Warnanya merah, dihaluskan dengan rapi, sehingga terkesan seni, bukan kumuh. Semakin dekat jarak kami, panggung dengan batasan tali di keempat sisinya menyambut.
Di sekitarnya, belasan kantong pasir tergantung sembarangan. Gedung yang dilapisi bata dari luar ini, kini terlihat seperti sebuah sarana gimnastik untuk cabang olah raga tinju, atau muay thai. Temboknya dilapisi dengan cermin, sebagian dengan triplek, atau kayu papan yang tebal.
Tidak seperti Karma yang mungkin sudah menduga ia akan dibawa ke mana dan dibiarkan dengan sukarela masuk ke dalam gedung itu, mereka menendangku masuk karena aku mulai memberontak.
Setelah itu pegawai menutup pintu, membiarkan aku dan Karma berdua saja dalam gedung ini. Karma mendekatiku, dengan posisi tubuh yang tegak ia membuka baju seragamnya. Menyisakan sebuah boxer yang menutupi bagian bawah tubuhnya, dan bra olah raga di bagian lain.
Dari pandangan sedekat ini, aku baru bisa melihat bagaimana tubuh perempuan itu sebenarnya penuh dengan bekas luka. Ada yang panjang dan pendek. Berjajar tanpa keteraturan di kulitnya. Karma tersenyum ketika ia tahu aku sedang memperhatikannya. Semakin lama jarak kami semakin dekat.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku mulai takut.
Karma menggeleng. "Menjalani hukuman." Ia semakin dekat.
Aku yang merasa terancam dengan caranya melihatku, mengambil langkah mundur.
"Kamu tidak akan tega," kataku membujuk. Suaraku bergetar seperti seekor kambing yang ketakutan.
"Kamu pikir begitu?"
Aku menahan bahunya dengan kedua tanganku. "Baiklah. Bagaimana aturannya?" Aku menyerah, tak yakin bisa membujuknya.
"Naiklah ke atas sana..." Karma menunjuk panggung yang dibatasi tali di keempat sisinya.
Lalu aku naik dengan susah payah. Karma tersenyum, geli dengan tingkahku yang pengecut. Karma merenggangkan kakinya dalam sebuah gerakan pemanasan. Sedang aku berdiri dengan kaku di sudut.
"Dengar aku, berusahalah melawan, itu akan membuat mereka senang."
"Aku tidak mengerti. Mereka tidak ada di sini," kataku sama berbisiknya seperti Karma.
"Lakukan saja, tidak ada waktu untuk menjelaskan." Lalu dengan kalimat itu, Karma memukul perutku, membuatku langsung berlutut. Rasa mual naik ke tenggorokanku.
Aku menatap Karma dengan wajah tidak terima, tapi bukannya minta maaf, ia dengan leluasa menendang bahuku hingga aku terjungkal ke belakang.
"Ayolah," katanya bersemangat. Karma mondar-mandir di depanku. Menungguku bangun.
"Sampai kapan?" tanyaku.
"Hanya sampai salah satu dari kita tidak sadarkan diri."
"Hukuman macam apa ini?"
"Lain kali aku jelaskan lebih banyak tentang balai pelatihan ini," kata Karma, "kalau kamu belum mati."
Aku berusaha berdiri. Karma menunggu, senyumnya melebar. Jelas, ia senang bisa menghajarku habis-habisan. Keringat dengan cepat membasahi perut dan lengannya, membuat semua garis otot yang ia punya mencuat.
Aku berusaha keras membalas semua kekerasan yang ia lakukan, tapi semua pukulan dan tendanganku tidak mengenainya. Sebaliknya, ketika ia melepaskan pukulan padaku, tidak satu pun meleset.
Semuanya yang terjadi di sini tampak semakin aneh bagiku, bagaimana sebuah balai pelatihan khusus perempuan melakukan ini pada orang-orang di dalamnya?
"Tunggu," kataku, membuat Karma berhenti memukuliku. Aku berdiri pelan-pelan. Wajahku terasa tebal, liurku keluar tanpa kendali, tapi aku tak berani menyentuhnya sama sekali.
"Apa?" Karma mengelilingiku, bersiap menyerangku lagi.
Aku akhirnya membuka bajuku, menggantungnya di atas tali ring. Kemudian dengan tenaga yang tersisa aku menyerangnya. Karma semakin senang dengan apa yang aku lakukan. Ia mundur sesekali, hanya untuk bersenang-senang. Sesekali ia membiarkanku memojokkannya. Dan aku memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memandang jauh ke dalam matanya.
"Aku harus mengatakannya padamu," kataku.
Karma hanya mengangkat alisnya, tapi ia terus menangkis pukulanku yang tak bertenaga itu.
"Kalau kamu tidak semenarik itu," kataku, "kamu hanya perempuan yang biasa saja. Kamu tidak semenarik yang kamu bayangkan."
Wajah Karma berubah drastis. Ia terlihat tidak senang dengan apa yang aku katakan.
"Omong kosong."
"Yang kamu lakukan sejak aku datang hanya mencari perhatianku. Tapi, mungkin tak ada yang berani mengatakannya padamu selama ini." Aku menahan rasa sakit di pahaku. Dengan langkah yang sudah pincang, aku mencecarnya. Karma makin marah.
"Kadang kita tidak bisa mendengar kejujuran ya?" Aku masih melanjutkan.
"Berhenti membual." Karma mulai kehilangan fokus. Bahunya turun.
"Aku bicara jujur," kataku sambil menangkap pergelangan tangannya. Karma diam. Kali ini berusaha menghindari tatapan mataku. Melihatnya begini lemah, aku tidak melewatkan kesempatan, aku menendang paha bagian dalamnya dengan lututku.
Begitu, Karma berlutut di depanku, kesakitan luar biasa. Dengan kasar aku mendorongnya hingga jatuh. Kami bergulat, aku menahan nafas. Ia masih di bawah tubuhku, mencoba mendorongku, tapi tanganku terentang di atas lehernya. Aku menunduk, mencari telinganya.
"Kekerasan semacam ini membuatku semakin bergairah, semakin sakit rasanya semakin aku senang. Tapi jika dapat memilih, aku akan lebih senang jika yang di hadapanku sekarang adalah perempuan bermata flip flop itu," kataku.
Karma kehabisan daya untuk menanggapi kalimatku. Kuperhatikan, kini dadanya naik turun, nafasnya susul menyusul. Ia menggamit tanganku yang menekan lehernya. Berusaha mendorongku tapi tak bisa.
Dalam posisi ini, aku dapat melihat jarum jam pengukur detak jantungnya signifikan naik ke angka lebih tinggi. Aku tersenyum, di detik yang sama alat pengukur itu berbunyi. Karma tak sadarkan diri setelah terkesiap oleh jarum bius dari benda itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/356506881-288-k348084.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romance18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...