34

322 13 2
                                        

34

"Apa benar yang dikatakan Karma, Margot?" Itu adalah kalimat pertama ketika Karika turun dari mobil. Aku dan Karma mengikuti dari belakang.

"Bagian mana?" Ibu Margot bertanya dengan nada yang lugu.

"Bagian kamu menembak kepala anakmu sendiri. Yovanes." Karika—ia cukup tegar untuk mengucapkan nama itu.

Margot mengerutkan dahi. "Hm?"

"Kenapa, Margot? Aku mengikuti semua kata-katamu. Aku melakukan apa yang kamu mau!" Karika mulai menangis seperti seorang gadis yang lupa membawa payung di hari pertama musim hujan. "Dan kamu membunuh kakakku!"

Ibu Margot berubah parasnya, kini ia terlihat terkejut dengan kata-kata Karika. "Aku tidak mengerti apa katamu, Nak."

Karma mendengus, mual dengan sandiwara perempuan itu. Ia angkat bicara akhirnya, "Jangan bohong Margot, aku melihatmu berdebat mengenai kasus anak-anak yang hilang di balai pelatihan ini. Yovanes membantu para orang tua untuk melawanmu di pengadilan. Tentu ia seorang pengacara yang bagus, sehingga kamu tidak bisa memenangkan perdebatan itu, dan kamu menghabisinya. Seperti yang kamu lakukan di sini, pada anak-anak yang tidak berbakat."

Karika menoleh pada Karma, lalu meminta konfirmasi Ibu Margot tentang apa yang ia dengar.

"Begitukah?" Dari gerak bahunya, aku tahu nafasnya sudah tidak teratur. Tapi Karika, aku kagum pada caranya menahan amarah.

"Karma, Diandra, sama saja. Yang satu pembunuh, yang satu mata-mata. Mereka bisa mengatakan apa saja, bahkan apa yang tidak mereka lihat," kata Margot. "Yang membedakan hanya, yang satu masih bernafas, yang satu tidak."

Aku memberongsang maju, ingin mencekik leher perempuan tua itu. Tapi, Karma mendekap bahuku.

"Ngawur, mulutnya ngawur." Aku masih berusaha, sayangnya Karma jauh lebih kuat. Ia menarik tubuhku ke belakang dan membuat kakiku melayang rendah menendangi udara dan debu.

"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menemui Yovanes." Karika bicara dengan tenang.

Ketika ia akan berbalik badan, aku melihat tangan Ibu Margot meronggoh ke dalam jaketnya. Pemandangan familiar. Pemandangan yang sama sebelum Diandra mati sia-sia.

"Sebentar." Aku menghalangi Karika. "Hitung jumlah peluru dari revolver milik perempuan itu."

Karika tidak mengerti apa maksudku, ia menekuk alisnya.

Tapi aku keras kepala. "Hitung saja. Jika begitu mudah baginya membunuh Diandra hanya dengan 1 peluru saja, dan jika benar dia yang membunuh Yohanes, berarti sisa pelurunya hanya 4."

"Tapi bisa saja peluru ini ada 6, 'kan?" kata Ibu Margot dengan percaya diri. "Aku bisa mengisi ulang kapan pun."

"Kalau memang begitu, bukan sebuah masalah jika aku melihatnya, 'kan?" Seperti seorang yang berani mati, Karika mendekati ibunya, mengulurkan tangannya untuk melihat revolver itu. Dengan ragu Margot mengulurkan senjata yang sudah dipegangnya itu pada Karika. Dipikirnya Karika tidak seberani itu.

Karika membuka blok silinder senjata api itu, menghitung kamar peluru yang kosong dengan hati-hati. Karma mendekat ketika Karika mendorong blok silinder itu ke tempatnya semula. Segera Karika menodongkan senjata api itu pada Karma.

Karma mengangkat kedua tangannya, mundur pelan-pelan.

"Kenapa kamu berbohong, Karma?"

Bukan hanya aku, Karma dan Ibu Margot, kami semua kaget dengan apa yang ia katakan. Sementara petugas balai yang lain berusaha mendekat, tapi Ibu Margot melarangnya. Dan memastikan keadaan sama kondusifnya seperti sebelum Karika mengambil alih satu-satunya senjata di sini.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang