3
3 bulan lebih awal.
"Adriana, bangunlah, Adriana." Seorang perempuan yang kukenal suaranya terus memanggiliku. Membawaku naik ke ambang realitas. Sebuah episode lagi. Kali ini, ibu yang menemukanku tergeletak tidak sadarkan diri.
Cepat-cepat aku membuka mata. Aku khawatir, kalau Ibu sedang menemukanku dalam kondisi yang tidak seharusnya, seperti seminggu lalu—saat mereka menemukanku tertidur di sebuah selokan selebar setengah meter—di gang depan universitas.
Silau menelisik mataku, aku mengernyit. Dua sosok berbentuk bayangan hitam menutup langit biru di depanku. Yang satu berambut sebahu. Kuidentifikasikan secara insting sebagai perempuan, sedang satu lagi pastilah seorang lelaki dengan rambut super pendek. Keduanya membungkuk ke arahku. Aku perlu beberapa detik lagi untuk mengabaikan intervensi cahaya dan mengoptimalkan kerja akomodasi mata, sampai pupilku bisa menyempit dengan baik dan aku mulai dapat mengenali wajah mereka.
"Mama," kataku.
Ibuku memandangku dengan wajah yang luar biasa sedih.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menumpu tubuhku sendiri dan duduk. Ketika itu keduanya mengambil posisi berjongkok di dekatku agar aku dapat melihat ke sekitarku dengan lebih leluasa.
"Apa yang bisa kamu ingat Adriana?" Dengan mata yang cemas ibuku bertanya untuk yang pertama kalinya. Dengan gestur canggung ia memindai seluruh tubuhku. Membuatku tersadar soal penampilanku yang tidak pantas.
Aku menggeleng. "Aku masih di belakang rumah," jawabku seadanya. Seperti mereka, aku pun ingin lebih cepat mengingat apa yang sebenarnya sudah terjadi sebelum mereka menemukanku dengan posisi begini. Di sini.
Di sebelahnya, kakak lelakiku memandang dengan tatapan yang tidak lagi dapat kukenali. Sorot matanya gelap, tapi bukan karena cahaya matahari yang mulai menjorok ke barat. Sesungging senyum di bibir kanannya—tidak bisa kupahami.
"Aku ingin ke kamar," pintaku.
Ibu mengangguk, cepat-cepat menyodorkan handuk besar yang sedari tadi ia pegang namun baru dapat mengingat apa tujuannya. "Ini, kita akan membahasnya nanti, setelah ayahmu pulang bekerja."
Aku berjalan ke kamarku, sebelum menutup pintu kamar dengan canggung, aku menengok sekali lagi ke arah belakang rumah. Melihat kakakku sedang menggulung seutas tali tambang jemuran, sementara ibuku memunguti pakaianku yang berserakan di rumput. Kakiku berjinjit, semua gerakan kulakukan tanpa suara, agar tak satu pun dari mereka bisa mendengar kepanikanku saat ini.
Memang bukan pertama kalinya aku menemukan diriku terbangun tanpa pakaian, dengan bekas memar atau jeratan di pergelangan tangan dan kaki. Jika sedang sial, ada beberapa bekas sayatan di punggung dan paha bagian belakangku. Tak pernah terlalu sakit rasanya—kecuali rasa perih saat sedang mandi.
Kukira aku masih punya banyak waktu untuk memikirkan ini. Alasan mengapa aku sering kali seperti 'kehilangan waktu' dan tidak mengingat apa-apa. Sayang sekali, sebelum aku bisa menyikapi kebiasaan burukku, ibuku keburu menangkap basah kejadian ini.
Ia menemukanku tergeletak di belakang rumah.
Aku buru-buru ke wastafel. Muntah. Membayangkan bagaimana insiden kali ini dimulai. Penyebabnya. Mengingat-ingat siapa yang mungkin bersamaku sebelum episode ini terjadi. Aku melihat refleksiku di cermin. Menutup mulutku dengan jari-jari tanganku yang luka.
Yang aku ingat saat bangun adalah bagaimana dengan serakah, aku menarik nafas.
Segera aku berdiri, paham benar bahwa melakukan itu akan membuat tubuhku limbung. Tidak seimbang. Aliran darahku terpompa cepat, ingin segera naik ke kepala. Membuat bola mataku ngilu, sehingga aku memutuskan duduk lagi agar tidak terjatuh. Berkali-kali aku menggosok wajahku dengan kedua telapak tangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/356506881-288-k348084.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romansa18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...