22

186 12 0
                                    

22

Dua menit yang lalu, aku belum mengatakan apa pun.

"Ini sudah menit ketiga dan kamu belum juga mengatakan apa pun." Karma menginterupsi lamunanku.

Kami berdua duduk di pinggir dek lantai 5. Aku bersandar di dinding, di sebelah lubang kecil tempat kami keluar masuk ke ujung atas lantai 5 yang hanya terdiri dari lapisan beton tanpa atap.

"Aku sebenarnya tidak tahu apa yang harus kubicarakan. Apa yang aku ingin kamu tahu sudah kukatakan malam itu," kataku, "bagaimana denganmu? Adakah yang ingin kamu katakan?"

Karma memandang ke depan. "Tidak banyak," katanya, "tapi bukankah ini aneh?" Karma bertanya.

Aku menoleh padanya, memperhatikan matanya dari sebelah samping.

"Kamu selalu punya bahan bicara jika bersama Diandra. Tapi tidak padaku." Karma tersenyum setelah mengucapkannya. Ia menunduk sedikit. Memperhatikan telapak tangannya. Tersenyum untuk dirinya sendiri, lalu mengangkat dagunya lagi. Tidak sedikit pun ia menoleh padaku.

"Ya, aneh sekali bukan?" Aku menatap ke depan. Menghela nafas pelan-pelan. "Tapi itu karena kita memang tidak punya banyak kesempatan untuk bicara berdua. Terakhir kali kita punya..."

"Kamu sedang menyalahkanku, ya?" Karma langsung menuduh. Tapi intonasinya tidak memojokkan.

Aku terkekeh, menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memerah di tengah kegelapan malam. Dia bukan hanya eksibis. Dia narsis. Ia mengira bumi hanya berputar karena keberadaannya.

"Diandra menyukaimu." Kini suaranya melemah. Tapi ia mulai menerima semuanya dengan emosi yang baik. Ia memandangku. "Kamu tidak terlihat kaget."

"Tentang Diandra?" Aku menggeleng. "Aku sudah tahu."

Lalu aku menoleh lagi padanya, ingin tahu seperti apa ekspresinya. Kupikir aku tak perlu cerita tentang yang terjadi di kamar mandi pagi itu pada Karma.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya. Karma tersenyum sedikit. Di ujung matanya, sebuah kolam mulai terbentuk di sana. Ia membuang pandangan ke depan lagi. Ia merasa kalah.

"Aku hanya menyukaimu Karma. Kalau kamu bertanya 12 kali pun, jawabanku masih akan sama," kataku. Aku menyentuh pipinya dengan telapak tanganku lalu menariknya agar ia melihatku sekarang.

"Aku tidak akan tega, Adriana." Karma menghela nafas, mengecup keningku yang masih terasa nyeri. Mata kami bertemu. "Diandra temanku. Dan aku, tidak akan mengorbankan perasaanmu untuk menyukai orang sepertiku."

"Kukira kamu akan bersikap egois seperti biasanya. Kenapa kali ini tidak, Karma?"

"Pernahkah kamu merasa semua hal jadi begitu rapuh?" Karma menggenggam tanganku. Menuntunku dengan matanya melihat jauh ke atas.

Aku mengikutinya. Ia bersandar di pundakku. "Aku terbiasa membunuh, Adriana. Rasanya aneh, tidak menyenangkan, juga tidak menyedihkan. Biasa saja, seperti biasa. Mengerti?" Ia berkedip-kedip. "Belakangan ini, semua hal terlihat begitu sensitif. Aku jadi penakut. Aku takut melukaimu. Aku takut melukai Diandra. Aku takut melukai semua orang. Aku bahkan takut bernafas terlalu banyak. Apakah aku akan mati? Aku tidak tahu. Tapi di balai pelatihan ini, ketakutan adalah larangan."

"Kenapa kamu berpikir akan mati? Kamu tidak pernah sepesimis ini." Aku bertanya padanya dengan suara yang mulai bergetar.

Mengingat bahwa Karma adalah objek ekperimen nomor 19, maka pilihannya hanya 2. Berhasil, atau berusaha sampai berhasil. Nyawa di balai pelatihan tidaklah semahal mereka yang membayar agar musuhnya terbunuh.

"Aku tidak pernah merasa cukup baik untuk siapa pun. Tidak untuk semua orang yang mendekatiku atau yang berada dekat denganku. Jadi, sejak aku tahu kalau Ibu Margot membutuhkan relawan untuk dijadikan spesimen percobaan, aku dengan rela mengacungkan jari. Aku yakin eksperimen itu tak akan berhasil." Karma menoleh sebentar ke pintu masuk seukuran semeter itu, meyakinkan diri, bahwa Diandra tidak akan mendengarnya. "Aku cuma ingin ini cepat selesai. Tapi nyaliku terlalu kecil untuk bunuh diri. Diandra sibuk sekali menyelamatkanku."

"Cukup, Karma." Aku tak tahan. "Diandra adalah teman yang baik. Dan Ibu Margot, kita akan menghentikannya. Diandra dan Karika pasti sedang membuat rencana."

Karma menyentuhkan ibu jarinya ke bibirku, membuatku diam. "Sekarang, sudah 3 orang yang terlibat. Tidakkah ini jadi salahku? Tidakkah kamu merasa bahwa semua hal kini menjadi sangat rapuh dan berperasaan?"

Mataku mulai dapat menyesuaikan diri dengan gelap, hal pertama yang paling jelas adalah mata Karma yang berkilat karena genangan air, dan lubang kosong yang gelap di dadanya—yang sebenarnya tak dapat dilihat dari luar.

"Apa salahnya punya perasaan, Karma? Perasaan adalah bagian dari manusia."

"Tidak ada manusia di tempat ini. Semua orang disulap jadi iblis di tempat ini."

"Dan itu bukan salahmu, jika kamu tidak lagi jadi iblis." Lalu aku menciumnya karena tidak ingin mendengar omong kosongnya lagi. Berharap ia akan membuka sedikit saja celah bagiku untuk memberinya semangat.

Selang sebentar, Karma menjauh. Dipeganginya kedua bahuku, lalu Karma tersenyum.

"Sudah selesai?" tanyanya, bersikap seolah tidak ada apa pun yang terjadi di antara kami. Atau, ia hanya menghindari luka yang lebih dalam.

Aku menyerah. Lalu mengangguk. Aku berdiri untuk memanggil Karika dan Diandra. Tapi, mereka tidak ada.

Kuputuskan untuk melihat langsung ke kamar. Mereka tidak ada di mana-mana. Aku membuka pintu kamar Karika, mengecek lorong, kalau-kalau mereka sedang berdiri di sana. Tapi tak ada siapa pun.

"Karma, mereka tidak ada di mana pun." Aku mendongakkan kepala di lubang masuk dek.

Karma berdiri, dan mendekatiku. "Ini salahmu. Andai kamu tidak meminta 10 menit untuk omong kosong itu. Mereka pasti masih di sini."

"Kamu tidak bisa menyalahkanku begitu. Aku hanya ingin menyelesaikan masalah kita!" Aku mengejar Karma ke ruang tidur Karika.

"Masalahmu. Semua hal adalah dirimu sendiri. Dan sekarang kamu sudah menciptakan masalah untuk orang lain."

"Ibu Margot tidak akan melakukan apa pun pada Karika," kataku memegangi lengan Karma. Tetap, ia adalah prioritas kami sejak awal.

"Tapi dia bisa melakukan apa pun pada Diandra!" Karma membentak.

Aku diam di tempat. Karma menepis tanganku, hendak pergi—sebelumnya ia berbisik di telingaku, "Aku cukup tahu, Adriana. Tidak ada yang lebih penting dari dirimu." Karma membuang muka. "Dan dirimu sendiri." Sekarang ia akan benar-benar pergi.

"Kamu boleh marah. Tapi biarkan aku membantumu sekarang," kataku sambil menggamit bahunya. "Aku akan mencari mereka."

Karma menoleh. "Tidak, ini sudah selesai buatmu. Kembalilah ke kamarmu. Aku tidak ingin ada yang terlibat lagi," katanya.

"Tapi aku memaksa." Aku keras kepala.

Karma kemudian mendorongku. Tubuhku terpental mundur. Jauh sekali sehingga aku tidak mempercayainya.

Aku tersungkur di antara baju Karika yang kini berantakan susunannya.

"Karma... Eksperimen itu..." Aku terkesiap. "Ibu Mergot mencarimu, bukan untuk membunuhmu?"

Karma mengangguk. "Aku tahu. Jadi jangan mengikutiku. Seseorang harus tetap berada di posisi abu-abu." Kemudian ia pergi.

Aku tak lagi mengejarnya.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang