17
Lagi-lagi.
Aku mempertanyakan kebetulan yang selalu menimpaku. Kenapa aku selalu ada di tempat dan situasi yang tidak tepat?
Kejadiannya adalah sebelum pujian malam. Tepat sehabis latihan sore. Aku mendapati diriku tengah berjalan ke klinik balai pelatihan Santa Carla. Meski tak punya masalah dengan kesehatan, ajakan dokter Karika tadi pagi (yang mungkin hanya sebatas basa-basi) tidak dapat kutolak. Dan di saat yang sama, ia sedang beradu argumen dengan Ibu Margot. Mendapat kesempatan begini, aku langsung menempelkan telinga.
"Aku seorang spesialis kejiwaan, Margot! Bukan seorang ilmuan! Tidak akan ada yang bisa aku lakukan untuk eksperimen konyolmu itu! Oh! Apa itu alasanmu memindahkanku ke sini? Karena tidak satu pun dokter di dunia ini yang mau membantu rencana gilamu?" Karika tidak hanya terdengar galak. Ia marah, murka. Meski dengan wajah setenang itu, aku sulit membayangkannya.
"Kamu 'kan bisa membantu injeksinya. Kamu juga bisa mengobservasi objek. Kamu bisa memastikan apakah eksperimen itu dapat menguntungkan atau—" Ibu Margot menjelaskan.
Lalu, Karika memakan kalimat itu bulat-bulat.
"Aku sudah melakukannya sekali. Dan apa yang terjadi? Beruntung perempuan itu tidak cacat! Bagaimana jika dia cacat? Bagaimana jika eksperimen itu tidak pernah berhasil, apa kamu akan membunuh semua orang, Margot?"
"Kita akan selalu punya objek. Semua orang datang dan menitipkan. Dan, itu lebih baik, dari pada mereka dibiarkan berkeliaran di jalanan Purasabha. Apa kamu tahu kalau tempat ini adalah harapan terakhir mereka?"
"Itu karena mereka mengira kamu membuat anak mereka sembuh di sini. Tapi sebenarnya bukan itu yang terjadi, 'kan? Kamu mengembang biakkan monster di sini. Lihat saja, suatu saat mereka akan tahu, kalau kamu tidak memberi jawaban atas harapan mereka." Karika berujar dingin. Membuat Ibu Margot diam sejenak.
"Apa pernah kamu memikirkan gadis-gadis itu, Margot? Mereka tak mengerti apa-apa. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan darimu. Mereka tumbuh seperti anak anjing bodoh yang setia padamu. Dan mereka kuat. Apa lagi yang kurang?" Karika merasa gemas.
"Aku perduli pada mereka."
"Ya, kalau itu katamu. Tapi, apa yang sudah kamu lakukan pada perempuan itu? Tidakkah kamu sempat sekali saja menjenguknya? Kamu ingat namanya?"
"Objek nomor 19. Terbiasalah dengan nama itu." Ibu Margot menambahkan.
"Dia manusia. Bukan seonggok mesin."
"Kamu bicara seolah-olah kamu tidak pernah diuntungkan dengan rencanaku, Karika."
"Aku tidak pernah merasa bangga dengan semua hal yang kamu lakukan, Margot."
"Bagaimana dengan pendidikanmu? Kamu pikir pendidikanmu itu didapatkan dari tangan yang bersih dan suci? Bukankah bangga rasanya menjadi seorang spesialis? Yovanes? Dia seorang pengacara sekarang."
Dan percakapan mereka berlanjut pada hal-hal yang tidak bisa kumengerti. Sampai akhirnya Ibu Margot kalah dan terusir. Argumentasi itu sepertinya masih jauh dari kata sepakat.
Aku segera bersembunyi ketika Ibu Margot keluar dari ruang praktek sambil membanting pintu. Aku menunggu hingga lorong terlihat sepi, lalu aku memutuskan masuk ke dalam ruang klinik Dokter Karika.
"Siapa?" tanya Karika setelah ketukan pintu.
"Adriana."
"Masuk," ucap Karika.
Aku masuk ke dalam ruangannya dengan ragu.
"Apa saya datang di saat yang tidak tepat?" tanyaku hati-hati. Wajah Karika masih merah. Aku menyesal telah membiarkan diriku menyerah pada rasa ingin tahu dan tetap mencoba. Bagaimana jika ia tahu kalau aku menguping?

KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romance18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...