8

324 13 0
                                    

8

"Hei! Aku 'kan sudah menang darinya! Mengapa kalian malah memukuliku?" tanyaku karena masih tak terima dengan perlakuan mereka padaku.

Dua orang petugas di depanku, baru saja melayangkan 3 buah tendangan. Di belakang lutut, punggung dan di wajahku. Membuatku rebah di lantai panggung ruang gimnastik itu. Air liurku muncrat, bercampur asam lambung dan darah kental yang anyir. Aku menggeliat kesakitan dengan nafas ala kadarnya.

"Karena itu hal yang aneh. Katakan pada kamu, bagaimana caramu melakukannya?" Mereka memaksaku, sambil menggeledah pakaian dalamku. Tapi aku tidak bicara lagi. Aku tersinggung karena merasa diremehkan.

Sementara Karma yang tergeletak dekat sana, tidak terlihat bergerak sama sekali. Nafasnya dalam. Alat pengukur detak jantung membuatnya teler dengan cepat.

Karena sudah mencari dan tetap menemukan apa-apa, mereka lalu menarikku keluar gedung, meninggalkan Karma yang masih tergeletak di sana.

"Ke mana lagi aku dibawa? Bagaimana dengan dia?" Aku mendesak. Mereka yang kini diam. Hanya suara kakiku yang terseret di tanah. Mereka mengembalikanku ke kamar.

Setelah mengetuk pintu kamarku, kami menunggu sebentar sampai seseorang membukanya. Diandra menarik kedua alisnya naik tapi tak bilang apa-apa. Aku menemukan gelagat kaget yang ia sembunyikan dari wajahnya. Dan matanya yang tak sama warna dapat dengan mudah menutupi ekspresinya.

Ia mundur agar tak menutupi ambang pintu. Memberikan celah agar dua pegawai tadi bis melemparku begitu saja ke dalam kamar. Aku diam di posisiku, sampai kudengar Diandra menutup pintu.

"Aku punya ekspektasi kalau kamu menang," katanya sambil berjongkok di depan wajahku.

Aku mengangguk pelan.

"Bagaimana caranya? Menang dari perempuan itu."

"Kamu 'kan pintar. Pikirkanlah sendiri," jawabku sambil bangun. Aku ingin tahu seperti apa bentukku sekarang ini. Aku masuk ke dalam kamar mandi.

Yang pertama kulakukan adalah menyalakan air dari keran wastafel dan mencuci wajahku yang mulai terasa kebas karena bengkak. Lalu membuka baju dan melemparnya ke keranjang cuci. Aku menghitung luka di wajah dan memar-memar di bagian tulang rusukku. Ini pertama kalinya aku mengalami insiden tanpa 'tertidur' di sini. Kemajuan pesat.

"Ada banyak yang harus kamu jelaskan padaku," kataku pada Diandra setelah membersihkan diri dan mengganti baju.

Pandangan Diandra mengikuti langkahku ketika mendekatinya. "Ya? Mau tanya apa memangnya?"

"Apa yang sebenarnya mereka lakukan di balai pelatihan ini? Apa sebenarnya yang akan kita lakukan?"

Diandra mengangkat bahu. Seperti biasa, ia akan berbelit-belit, "Kenapa bertanya begitu?"

Aku mengulum nafas, melihat ke arah jendela, mengumpulkan nyali untuk bertanya hal yang paling buruk yang bisa kubayangkan.

"Pernahkah seseorang mati di sini? Maksudku, penghuni di balai ini, kamu mengerti 'kan maksudku?" Aku merasa cemas saat mendengar pertanyaanku sendiri.

Diandra berdiri di belakangku, menatapku lama sekali, sampai seorang memanggilku dari pintu. Aku berbalik, melewatinya ketika berjalan ke pintu. Ketika membuka pintu, seorang pegawai datang dengan sebuah nampan berisi setumpuk paha ayam goreng dan telur ceplok.

Aku melongo melihat pemandangan menggiurkan di depanku. "Apa ini?"

"Untuk Adriana. Cepat ambil." Petugas itu mendorong nampan dengan kasar padaku. Seolah tidak rela kalau aku menerimanya, tapi tak punya pilihan lain.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang